Phrolova

🔍 Informasi
Tanggal Lahir
Unknown
Jenis Kelamin
Perempuan
Tempat Lahir
Unknown
Afiliasi
The Fractsidus
📋 Forte Examination Report
Resonance Power
Symphony of Beyond
Resonance Evaluation Report
Evaluation Basis: [Resonance Assessment RA-F2005-G]
Awakening Phrolova terjadi di saat kematiannya, momen yang memberinya kemampuan untuk menyelaraskan frekuensi target dan mengubah "melodi" mereka, berdasarkan pemahaman mendalam tentang struktur frekuensi kritis pada materi. Kekuatan kemampuan ini bergantung langsung pada kondisi fisiknya. Data uji terbaru menunjukkan bahwa dalam kondisi Overclock ekstrem dan tetap sadar, jangkauan tuning Phrolova bisa meluas hingga 30 kali lipat dari normal, dengan durasi maksimum yang pernah tercatat selama 46 detik. Karena asal-usul kemampuannya yang kompleks, waktu dan penyebab pasti Awakening-nya tidak bisa dipastikan.
Tacet Mark Phrolova terletak di lengan kirinya. Mutasi Tacet Discord yang muncul setelah Awakening menghentikan proses penuaan tubuhnya—satu-satunya perubahan fisik yang tercatat hanyalah perubahan warna pada iris mata kirinya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa selama tubuhnya dalam kondisi sehat, regenerasi kulit dan penyusunan ulang frekuensi hanya memerlukan waktu sekitar 6 detik, sementara pemulihan organ dalam berlangsung antara 15 sampai 18 menit. Sampai laporan ini ditulis, belum ditemukan kelemahan fatal pada dirinya.
Pemeriksaan juga mengungkap adanya kumpulan besar frekuensi kacau dalam tubuh Phrolova, diperkirakan berjumlah sekitar seribu frekuensi—meskipun jumlah pastinya belum diketahui. Eksperimen lanjutan memastikan bahwa frekuensi-frekuensi ini tidak berdampak negatif terhadap tubuh maupun kemampuan Resonance-nya. Frekuensi tersebut dianggap tidak memiliki nilai signifikan dan hanya berkaitan dengan fluktuasi mental yang dialaminya.
Analisis sampel uji menunjukkan pola Kurva Rabelle yang datar dan stabil, diikuti lonjakan tajam lalu kembali menurun secara konsisten. Karena itu, Phrolova diklasifikasikan sebagai Mutant Resonator. Serangkaian eksperimen juga mengonfirmasi bahwa metode Awakening miliknya tidak bisa direplikasi secara buatan pada individu lain.
Overclock Diagnostic Report Gelombang frekuensi milik Resonator Phrolova menunjukkan pola seperti gigi gergaji dan fluktuasi tajam menyerupai jarum. Pola dalam Time Domain sering kali menampilkan aktivitas yang intens dan kacau. Selama pengujian, data Time Domain mengalami distorsi besar, dan nilai puncaknya tidak dapat ditentukan.
Resonant Criticality: Sangat rendah. Frekuensi Phrolova menunjukkan tingkat stabilitas yang sangat rendah. Tercatat bahwa ia memiliki riwayat Overclocking, namun sejauh ini ia selalu mampu mengendalikan kondisi tersebut. Hal ini mengindikasikan adanya potensi untuk meneliti metode stabilisasi dan perpanjangan durasi Overclock pada Resonator biasa, dengan memanfaatkan kestabilan mental yang dimilikinya.
📦 Cherished Items
Phrolova's Music Sheet
Ekspresinya tenang, namun tangannya bergerak penuh semangat dengan gerakan yang dramatis, menyapu lembar demi lembar partitur. Nalar goyah, lalu hancur, tenggelam dalam badai emosi. Nada-nada pecah, lalu terlahir kembali—terpuntir menjadi suara yang menyimpang.
Phrolova's Violin
Dialah yang menerima pemberian mereka. Dialah yang mengubur sisa-sisa mereka. Satu per satu, senar-senar itu menyanyikan seruan agung mereka. Siklus demi siklus, busurnya terus mengalunkan nada di tengah kematian yang berulang.
Retained Concert Ticket
Sekali lagi, ia berdiri di depan pintu aula konser, dengan tiket di tangannya. Ia mulai lupa, sebenarnya apa yang sedang ia tunggu. Teman yang memahami musiknya? Atau jalan yang menuju tujuan yang serupa?
Kerumunan mulai menipis. Pintu tertutup di belakang penonton terakhir. Namun, tiket itu masih tergenggam erat di tangannya.
Lalu datanglah kejelasan: ia tidak menunggu siapa pun. Ia hanya menunggu seutas benang kecil untuk tetap bertahan. Sebuah harapan yang selama ini hanya ada dalam mimpinya.
Kini, ia tak akan menunggu lagi.
📜 Story
Song of Red and Black
Penonton larut dalam pertunjukan. Sebagian membeku di tempat, sebagian lain menggigil, terombang-ambing bak ilalang di tengah badai. Dalam gelap, ribuan pasang mata terpaku pada sosok tunggal itu—rapuh namun penuh kuasa—terbius oleh naik turunnya lengannya, seolah nada-nada yang tercerai-berai dalam elegi panas yang lahir dari kegilaan.
Melodi mendidih di bagian presto menyalakan hasrat yang membara dalam dada mereka. Emosi-emosi yang selama ini ditekan mulai meledak. Tak terkendali. Tak terbendung. Mereka tercekat di puncak kegilaan musik itu, terseret bersama sang dirigen ke tepi kewarasan. Di ambang jurang yang menganga, mereka mendamba mekarnya kehancuran dan kelahiran kembali.
Namun sebelum lompatan itu benar-benar terjadi, sang dirigen menghentikan lengannya di bawah sorotan lampu. Musik terputus mendadak, seolah dipangkas dengan kejam.
Ia berdiri kaku, seperti patung, dadanya naik turun menahan napas. Satu-satunya sisa nalar yang menahannya telah putus—menghilang ke dalam lautan emosi tempat ia kini terombang-ambing sendirian. Tatapannya tertuju ke langit-langit, tak pernah sekali pun menunduk menatap mata penonton di bawahnya.
Apakah itu akhir?
Hening. Gelisah. Tersesat. Penonton mulai meninggalkan ruangan dalam kondisi linglung. Namun sebelum mereka mencapai pintu, musik itu kembali—seperti gema dari masa lalu. Mudah sekali merayap hidup kembali dalam kepala mereka, berulang tanpa akhir, lebih memesona dari saat pertama terdengar, membangkitkan dan memperbesar kegilaan yang tersembunyi di setiap hati.
Di masa terang, orang-orang akan keluar dengan senyum, memeluk hari esok berlapis emas sambil meneguk lagu berwarna merah darah. Di masa gelap, lagu yang menghitam itu akan menjadi jerat terakhir—dan tanpa ragu mereka akan menuju jendela di atas.
Phrolova tak pernah peduli warna apa yang dilukiskan musiknya bagi orang lain. Ia hanya terus mengayunkan tangannya, mengikuti siklus waktu. Dan mereka yang duduk di aula konser itu tak pernah mempertanyakan ke mana musik itu membawa mereka. Berkali-kali pencipta dari melodi hangat dan pilu itu berdiri di atas panggung, namun tak seorang pun pernah berhenti untuk bertanya: apa yang menahannya tetap di sana—apakah seni, amarah, atau duka atas cinta yang telah lama terkubur dalam debu.
Hidden Lycoris
Aula merah tua itu sering kali kosong, hanya diisi oleh bendera para Overseer yang berkibar dihembus angin dingin. Di antara semuanya, bendera yang membawa lambang Lycoris sudah lama kehilangan warnanya—namun tetap bergeming di tempatnya, tak pernah jatuh. Sebagaimana diingat oleh sebagian besar anggota Fractsidus, para Overseer datang dan pergi seperti bayangan—hampir tak ada yang memilih untuk tinggal lama. Namun dia adalah yang paling sulit dipahami, dan bendera itu menjadi satu-satunya jejak keberadaannya.
Ia telah meninggalkan segala hal yang biasanya dimiliki oleh seorang Overseer di tempat ini—tak ada barang di ruangannya, tak ada kata yang tak perlu. Ia tidak berasal dari sini. Keheningan yang dingin membuatnya tampak mudah dilupakan, namun setiap kali muncul pikiran bahwa ia mungkin tak lagi penting bagi Fractsidus—atau Fractsidus tak lagi penting baginya—Lycoris yang diam itu akan muncul dari kegelapan, tak terduga. Seperti bunga yang mekar tajam, ia akan menembus jantung musuh, menyelesaikan misinya, lalu kembali lenyap. Tak ada yang benar-benar menarik perhatiannya di tempat ini, dan hanya sedikit yang tahu alasan ia bergabung sejak awal.
Hanya ada satu tempat di dalam Fractsidus yang bisa menahan langkahnya. Kadang-kadang, ia berdiri di lantai atas laboratorium, diam-diam mengamati proses integrasi manusia dengan daging dan anggota tubuh Tacet Discord, atau perkembangan teknologi Overclocking. Ia memperhatikan hasrat menyala di mata mereka yang mengejar evolusi, menyaksikan perjuangan menuju kelahiran kembali. Teriakan keberhasilan, ratapan kegagalan—seolah ia melihat sesuatu yang lebih dari sekadar mereka.
Di lain waktu, ia muncul seperti bayangan di tengah malam, membawa lentera sambil membaca hasil riset terbaru. Namun ia tak pernah membawa selembar pun hasil itu pergi, seakan semuanya hanya berujung pada kekecewaan. Mereka yang kadang menyaksikan momen itu hanya bisa bertanya-tanya— sebenarnya, apa yang sedang ia cari?
Treading Through Woes
Saat hidup menjadi tak terbatas, jalan seperti apa yang seharusnya ditempuh di dunia ini? Ia tak pernah menemukan jawabannya. Kekosongan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, dan luasnya keberadaan yang tak berujung, membuatnya kehilangan arah. Sebagai respons, ia memilih untuk memejamkan mata dan membiarkan musik berbicara—nada-nada liar meluapkan kesepiannya, dukanya, amarahnya, tanpa peduli kapan atau di mana semuanya akan jatuh.
Sang jenius yang nyaris gila itu dikenal luas, namun tetap sama keras kepalanya. Ia bertahan lebih lama dari setiap pujian maupun hinaan, menyaksikan peristiwa yang sama berulang, mendengar komentar yang tak berubah, lagi dan lagi. Kesendirian terus menyapanya—hingga akhirnya ia sadar, menggantungkan diri pada siapa pun adalah harapan yang sia-sia. Momen-momen berharga sering kali singkat, dan hanya mereka yang tak bisa pergi yang akan terus menanggung rasa sakit. Lambat laun pikirannya menjadi jernih—lalu membatu. Ia menutup dirinya dari dunia, mati rasa terhadap semua perasaan. Ia berjalan sendirian, mengabaikan kerumunan di bawah panggung, dan buta terhadap dunia di luar sana.
Ia tak pernah mengganti namanya untuk menyembunyikan diri, tak peduli pada spekulasi atau pertanyaan orang. Siapa pun bisa menebak usia fisiknya, tapi hanya sedikit yang bisa menebak usia jiwanya.
Ia mungkin akan terus mengembara seperti arwah tanpa tujuan, namun apa yang terjadi di satu pertunjukan itu memberinya makna. Di momen kesadarannya itu, waktu yang tak tertahankan seolah berlalu dalam sekejap—seakan seluruh hidupnya dikompres menjadi satu titik. Ia mulai mencari mati-matian apa pun yang belum ia pahami, mencari kilau talenta yang mungkin bersinar di arus waktu.
Jika orang-orang percaya bahwa ia adalah harapan terbesar mereka, maka ia akan dengan senang hati memuaskan rasa ingin tahu mereka. Melintasi era demi era, ia menyerahkan dirinya pada eksperimen, menjalani pembusukan dan kelahiran kembali berkali-kali.
Rasa sakit membuatnya tetap berpijak pada kenyataan—namun hanya melalui celah-celah rasa sakit itulah ia bisa mendekati masa lalu. Tak satu pun dari usahanya terasa terlalu berat, karena pada akhirnya rasa sakit akan dilupakan.
Namun mengapa sekarang ia merasa ruang semakin menyempit? Mengapa jalur tanpa batas ini justru terasa seperti jerat yang semakin menjerat lehernya? Bukankah ini seharusnya jalan menuju depan?
Ia merentangkan jarinya di antara celah yang semakin menyempit itu, mencari putus asa—sebuah jalan keluar.
The Perfect Gap
Patung kuno selalu bernilai tinggi dan sulit didapat karena bahan pembuatannya yang unik serta keahlian luar biasa di baliknya. Namun, semakin berharga suatu harta, semakin besar pula kemungkinan ia hancur. Apa yang tampak sebagai kecelakaan sering kali mengandung kesan keniscayaan—seolah naluri merusak dari pemiliknya sendiri telah menentukan takdir benda itu sejak awal.
Suatu hari, patung itu terjatuh dari atas lemari—pecah berkeping-keping, serpihannya tersebar di lantai. Era ketika ia diciptakan telah lama berlalu, dan kini hanya dia yang masih mengingat wujud aslinya. Dengan tekad bulat untuk mengembalikannya seperti semula, ia meluangkan waktu, menempelkan kembali setiap pecahan satu per satu dengan hati-hati. Ia mulai dari bagian dalam, menyusun puluhan ribu potongan berdasarkan gambaran yang tersimpan dalam ingatannya.
Itu adalah pekerjaan yang menuntut konsentrasi penuh, dan dalam momen-momen itulah, hatinya yang kosong menemukan ketenangan dan rasa cukup. Dunia seakan mencapai keharmonisan sempurna ketika ia bekerja. Namun begitu ritmenya melambat, dunia di sekitarnya justru terasa bergerak lebih cepat. Tanpa ia sadari, sebagian besar patung telah berhasil ia pulihkan. Patung itu kini dapat berfungsi dan bergerak seperti dahulu. Namun itu belum cukup. Keindahan bagian luarnya adalah bagian tak terpisahkan dari keseluruhan wujudnya. Setiap penyesuaian, setiap gerakan, harus mengikuti kehendaknya—agar kesempurnaan bisa tercapai, dari dalam hingga luar.
Kemenangan terasa begitu dekat, namun sekaligus menjauh. Setiap kali satu bagian berhasil ia selesaikan, bagian lain runtuh di bawah beban waktu. Retakan akan selalu ada.
Ia terus bekerja, menempatkan kembali setiap kepingan yang jatuh, lagi dan lagi. Semakin ia cemas dan merindukan hasil akhir, semakin keping-keping itu tercerai-berai.
Terlalu lama ia menatap patung itu—hingga retakan-retakan di permukaannya mulai menyerupai deretan senyuman, mengejek usahanya yang sia-sia dalam mengejar kesempurnaan. Retakan itu mengingatkannya bahwa jarak antara fantasi dan kenyataan akan selalu ada, bahwa yang sedang ia perjuangkan hanyalah kehampaan yang tiada ujung.
Namun terlalu lama ia menatap patung itu—hingga retakan itu juga mengingatkannya bahwa masih banyak yang bisa diperbuat. Ketidaksempurnaan ini sudah menjadi bagian dari patung itu sendiri. Retakan-retakan di luar kesempurnaan itu, entah sejak kapan, telah menjelma menjadi celah-celah yang sempurna.
Afterlife and Beyond
Ia menatap ke langit. Langit itu biru. Tapi yang ia ingat, langit seharusnya merah gelap.
Ia memanjat pagar, mencari sesuatu, sementara suara-suara bergema di sekelilingnya, mencoba menahan langkahnya. "Itu cuma mimpi buruk," kata mereka. Jadi semuanya hanya mimpi… Seperti awan yang melintas cepat di atas sana, gaun putihnya melayang di padang rumput, menuju ke kota. Matahari terbit seperti biasa, dan kota itu terus mengulang asap cerobong dan tawa yang sama—hari demi hari… Hari demi hari, kebiasaan yang monoton meresap ke dalam dirinya, begitu juga dengan rasa mandek yang tak kunjung reda. Musiknya tak lagi berkembang, pikiran orang-orang pun tak lagi berubah. Hari demi hari…
Sudah berapa lama sejak terakhir kali seseorang melangkah keluar dari tepi kota? Dari mana datangnya makanan? Bagaimana semua kebutuhan sehari-hari terus tersedia tanpa henti? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi benaknya saat ia berjalan menjauh dari kota.
Tiba di batas kota, ia melihat sosok merah berdiri di hadapan kabut yang samar. Sosok itu telah lama menunggu—seakan memang menantikan kehadirannya.
Naluri berkata untuk menjauh. Namun entah mengapa, ia justru mengulurkan tangan, menyentuh telapak sosok itu—dan hanya meraih segenggam darah.
Langit memang berwarna merah gelap.
Ia bukan siapa-siapa lagi—hanya tubuh yang rusak, dengan satu mata tersisa, ditutupi bunga merah terang, tak mampu bergerak atau melawan. Mengapa ia belum mati?
Ia menatap langit kelabu, tangannya bergerak tanpa sadar, berusaha menggenggam tanah merah yang berlumpur. Dalam pandangan sempitnya, jari-jarinya yang lama menghilang perlahan muncul kembali. Kematian orang-orang lain menggendong kelahirannya kembali, gema Resonansi mereka menyatu di mata kanannya.
Barulah saat ia punya keberanian meninggalkan kota dan menghadapi kenyataan, "Beyond" yang menyelimutinya mundur—kembali ke kedalaman hatinya. Bunga-bunga merah itu gemetar dan gugur, memperlihatkan kulit baru di bawahnya. Gema tawa belum benar-benar menghilang. Ia memang telah bermimpi sangat lama—mimpi indah yang diberikan oleh "Beyond."
Namun, siapa yang bisa bilang bahwa mimpi tak bisa menjadi nyata?
Ia menatap ke atas. Langit kini benar-benar biru. Kebekuan yang tak berujung dan kabut yang menghancurkan mimpi itu telah hilang. Inilah "Beyond" yang baru—yang ia ciptakan dengan susah payah, sama persis seperti yang pernah mereka tanam dalam hatinya.
Orang-orang masih memanggil namanya. Dan kali ini, ia akan benar-benar menyambut mereka yang nyata.
Last updated