Augusta

Ephor of Septimont. Sang matahari abadi yang tak pernah padam, panji yang tak mengenal kekalahan. Dia datang. Dia melihat. Dia menaklukkan. Dengan pedang terangkat tinggi, ia menanti penantang berikutnya—atau takdir yang tak bisa dilawan.

🔍 Informasi

Tanggal Lahir
11 Juni

Jenis Kelamin

Perempuan

Tempat Lahir

Rinascita

Afiliasi

Septimont

📋 Forte Examination Report

Resonance Power

Magnetism Before Light

Resonance Evaluation Report

Resonance Evaluation Report

[Extracted from █████ Agon Participant Physical Report]

Name: Augusta

Resonansi peserta ini telah muncul sejak masa kecil, hampir bersamaan dengan usianya. Diduga kuat ia adalah Congenital Resonator..

Tacet Mark milik Peserta Augusta terletak di punggung tangan kirinya. Saat diaktifkan, ia mampu menciptakan dan mengendalikan medan magnet dengan jangkauan sekitar sepuluh meter, berpusat pada dirinya sendiri. Seiring bertambahnya penguasaan atas Forte-nya, ia dapat mengendalikan serta membentuk ulang material seperti besi, kobalt, dan nikel secara bebas. Namun, berdasarkan kesaksian pribadi maupun data uji coba, Forte-nya tampaknya telah mencapai batas perkembangannya, dengan jangkauan sepuluh meter menjadi ambang praktis maksimalnya.

"Seorang Congenital Resonator. yang langka, namun Forte-nya nyaris tak lebih dari dukungan kecil dalam pertempuran, paling banter bisa disebut 'biasa saja'. Bagi seseorang sepertinya untuk bersinar di Agon? Kemungkinannya sama besarnya dengan matahari terbit tengah malam. Sekadar fantasi belaka." —Catatan dari seorang penguji medis

Tacet Mark yang terpatri di punggung tangannya sejak kecil dulu adalah anugerah dari langit—dan sekaligus lelucon kejam. Forte-nya yang lemah pernah mengikatnya bagai belenggu. Kini, ia telah lama melelehkan rantai itu. Satu demi satu, ia mendaki anak tangga menuju takhta, membuktikan pada seluruh dunia bahwa bahkan mereka yang lahir dari debu bisa bersinar seterang matahari yang menyala.

Overclock Diagnostic Report

[Ephor's Palace Annual Medical Report—Access Verified]

waveform graph subjek menunjukkan fluktuasi berbentuk elips. Pola Domain Waktu stabil, tanpa tanda-tanda fluktuasi abnormal. Hasil uji berada dalam kisaran fase normal.

Resonant Criticality: Subjek ini memiliki risiko minimal terhadap Overclocking. Berdasarkan intensitas waveform, potensi Overclocking juga dipastikan tidak ada.

Catatan medis tidak menunjukkan riwayat Overclocking, dan konseling psikologis saat ini dinilai tidak diperlukan.

"Setiap kali kami melakukan ini, rasanya seperti mengukur tinggi badan seorang wanita dewasa—yang, yah... agak canggung."

"Tapi begitu sampai di tes fisik, kau selalu berhasil mengejutkan. Lebih tepatnya, membuat siapa pun yang merancang alat uji pingsan."

"Haha, begitu ya?"

Seal of Sun and Gryphon

Batu yang digunakan untuk membuat segel ini diambil dari pegunungan tempat leluhur Septimont pertama kali menginjakkan kaki. Licin namun kuat, permukaannya yang putih bersih dihiasi pola-pola melingkar yang terukir oleh waktu itu sendiri—bekas tak terhapus dari sejarah yang terpahat dalam tanah.

Di permukaan segel terpahat seekor griffin dan sebuah matahari, keduanya dibuat dari logam mulia. Yang pertama melambangkan keberanian dan visi, sedangkan yang kedua mewakili keabadian dan kemuliaan. Segel kecil ini membawa harap dan impian para pendiri Septimont, pengingat abadi bagi siapa pun yang memegangnya untuk tak melupakan tekad yang memulai segalanya.

Augusta masih ingat rasanya saat pertama kali menyentuh segel itu. Dingin, namun menyimpan hangat yang samar. Hangatnya kekuasaan. Ia tahu betul bahwa di balik kekuatan itu bukan hanya kehormatan yang tersemat. Segel yang ringan sekalipun bisa dilambungkan ke udara, terasa berat di telapak tangan—laksana beban di pundaknya, beban yang tak bisa dilepaskan.

Old Headband

Sebelum Augusta dikenal namanya, ia mengumpulkan hasil kerja serabutan untuk membeli headband ini—yang dihiasi pola tradisional Septimont. Saat itu, ia hanyalah seorang Gladiator tak bernama di antara banyak yang lain, hidup keras, tak terlihat, tak terdengar. Setiap kali sebelum menginjak arena, ia selalu mengikatkan headband ini di kepalanya. Benda itu menyaksikan setiap pertempuran yang ia jalani, dan diam-diam menyerap setiap air mata yang ia tahan.

Pada malam menjelang Agon yang penuh darah, Augusta meletakkan headband itu di atas lututnya. Dengan jari-jari kikuk, ia menjahit satu baris kata kecil di bagian dalamnya:

"Semoga aku tak pernah lupa mengapa aku mencabut pedang saat aku berdarah."

Huruf-hurufnya miring, jahitannya kasar. Tapi begitu satu helai benang terakhir ditarik, ia bangkit, mengikat kembali headband itu erat di kepalanya.

Ia tak menoleh ke jalan yang telah membawanya sampai di sini.

Ia tak perlu.

"Little Acorniator"

Saat Augusta masih kecil, ia membuat "teman bermain" dari sebuah biji kenari. Sama seperti saudara-saudaranya yang berbentuk aneh dan malang nasibnya, benda itu juga berasal dari pohon ek besar di Fabianum.

Dulu, Augusta belum menguasai seni pembuatan. Sebagian besar "Acorniator" yang ia buat berbentuk tak sempurna—ada yang patah kakinya, ada yang kepalanya gepeng. Ia memberi nama setiap makhluk kecil yang tak bertahan lama itu, lalu menguburkannya di kebun. Sampai suatu malam yang hangat, ia menyerahkan sebuah Acorniator yang belum selesai pada ayahnya. Dan di tangan sang ayah, benda itu pun "hidup". Kokoh. Tampan. Layaknya seorang Gladiator perkasa yang sesungguhnya.

Benar. Little Acorniator adalah Gladiator yang telah meraih tanda kehormatan. Prestasi heroiknya mencakup:

— Mengalahkan seekor laba-laba yang berani membuat jaring di helmnya. — Mengalahkan badai yang menerobos lewat jendela. — Mengalahkan Acorniator "Chunky". — Mengalahkan Acorniator "Lanky".

Dalam imajinasi tak terbatas Augusta yang masih kecil, Little Acorniator adalah wujud sempurna dari Sang Pahlawan di antara para pahlawan.

Bertahun-tahun telah berlalu. Kini, Little Acorniator diam di sudut ruang kerjanya, seperti veteran tua yang menikmati masa pensiunnya dengan tenang. Sementara itu, gadis yang dulu memandangnya dengan kagum terus melangkah maju, tegap dan tak pernah goyah, menyusuri jalannya sendiri menuju keagungan.

📜 Story

The Whisper

“Clang!”

Ketika pedang terlepas dari genggamannya, kesadaran gadis itu pun terhempas ke dalam kekacauan.

Panas menjalari anggota tubuhnya. Lalu mati rasa. Saraf-saraf yang terlalu tegang satu per satu putus, menyeretnya ke dalam gelap yang dingin dan sunyi.

Ia tak lagi ingat sudah berapa kali dijatuhkan. Ia tak tahu berapa kali lagi harus bangkit.

Ketakutan mulai tumbuh di dadanya. Merambat, membungkus kemauan yang mulai runtuh seperti kokon tipis dari sutra.

Ia takut. Takut akan roboh sebelum mencapai apa pun. Takut akan jatuh di jalan yang tak ada jalan pulang.

"Terimalah perasaan ini, Augusta..."

Suara itu bergema di telinganya, membelah kegelapan seperti batang korek yang dinyalakan di ruang hampa.

"Belajarlah mengenal rasa takut. Belajarlah mengenal rasa ngeri. Ini pelajaran pertamamu..."

"Belajarlah menerima kelemahanmu. Hanya dengan mengenal kelemahan, kau bisa memahami kekuatan."

"Hanya dengan merasakan kekalahan, kau bisa memahami nilai dari kekuasaan..."

"Jalan kemuliaan tak pernah dibentangkan untukmu. Tapi jika kau sampai di ujungnya, tak ada yang peduli nama siapa yang kau sandang di awal."

"Kemauan untuk menjadi pahlawan... Itu saja sudah cukup untuk mulai menjadi satu."

"Maka berjalanlah di jalan itu, Augusta... Kau tak punya pilihan lain. Dan kau tak butuh pilihan lain."

"Jangan kejar cahaya seperti ngengat. Jadilah matahari yang menyala-nyala—yang tak berani dilihat siapa pun."

"Sekarang bangkit, Augusta."

Bisikan itu merobek Cocoon ketakutan, meninggalkannya telanjang kembali di tengah dingin yang membeku.

Dingin itu menusuk sisa kemauan yang masih tersisa, lalu—

Ia berdiri.

Kakinya gemetar. Satu kaki menyeret di belakang. Ia meraih pedangnya. Mengangkatnya.

Dan sekali lagi, ia menantang Gladiator bernama Cato.

Sejak saat itu—

Ia menghunus kemenangan pertamanya seperti pedang, membabat jalannya sendiri menuju kemuliaan.

The Right of the Strong

Menghadang. Menilai. Memberi pukulan. Lalu datang putusan, tepuk tangan, dan sorak sorai.

Ia mengabaikan tatapan-tatapan yang membakar, lalu berbalik pergi tanpa sekali pun menoleh.

Entah sejak kapan, Augusta telah kehilangan semua gairah untuk kemenangan yang datang terlalu mudah.

Ia butuh sebuah batu asahan. Seseorang yang bisa mengasah ketajamannya. Tapi di seluruh Septimont, lawan seperti itu kini semakin langka.

"Belum cukup... Masih jauh dari cukup..."

"Dua serangan untuk hancurkan ofensif mereka. Satu untuk remukkan pertahanan. Satu pukulan terakhir untuk mengakhiri semuanya."

"Lawan level begini... Seharusnya pertarungan itu selesai dalam empat gerakan."

Di ruang istirahat, Augusta duduk sendirian, mengulang-ulang kekurangan dalam pertarungannya.

"Tak perlu terburu-buru, Augusta..."

"Kau sudah memiliki pola pikir yang kuat. Itu bagus..."

"Mencari celah, memperebutkan peluang—begitulah cara yang lemah bertarung. Bagi yang kuat, kemenangan bukan tujuan. Itu hanyalah awal."

Seperti biasa, bisikan itu datang.

Seperti seorang mentor—sabar, namun tegas. Seorang tua yang selalu muncul dengan nasihat tepat saat ia paling membutuhkannya.

"Yang kuat...?"

Augusta mengencangkan genggaman pada pedangnya, suaranya sarat keraguan.

"Apa aku... benar-benar sudah menjadi salah satu dari mereka?"

"Tanpa ragu, Augusta. Kau bukan lagi gadis kecil yang tak berdaya dulu."

"Hisap habis semua nilai dari yang lemah. Jadikan yang lebih kuat sebagai bahan bakarmu."

"Naiklah melalui anak tangga yang tubuh mereka bangun, lalu duduklah di takhta yang seharusnya menjadi milikmu..."

"...!"

Seolah sebuah paku es menembus tulang belakangnya, mata Augusta terbuka lebar.

"Ada apa, Augusta?"

"Tidak... Aku hanya..."

Ia menekan telapak tangan ke wajahnya, dahi mengernyit, berusaha mengingat.

"Aku hanya... tidak bisa mengingat seperti apa rupa lawanku hari ini..."

Beberapa hari kemudian, Augusta menerima undangan untuk menghadiri arena bawah tanah. Dulu, ia berdiri di sana sebagai seorang Gladiator. Kini, ia diundang sebagai tamu terhormat, duduk di antara para bangsawan.

"Terimalah, Augusta. Perluas pandanganmu. Hanya dengan melangkah keluar dari sangkar kecilmu, kau bisa mencapai puncak Septimont."

Ia berniat menolak. Tapi pada akhirnya, ia mendengarkan bisikan itu. Maka duduklah ia kaku di kursi empuk yang tak pernah biasa, membalas obrolan ringan kelas atas dengan kalimat sopan yang terdengar asing dari mulutnya. Rasa tak nyaman merayap, hingga akhirnya ia mengalihkan pandangan ke arena di bawah.

Saat itulah ia menyadari—di balik jeruji besi, jumlah Gladiator jauh melebihi kebutuhan pertandingan biasa.

"Augusta, bintang terang kita!"

kata bangsawan di sampingnya.

"Semua berharap penantang yang layak akan muncul menantangmu. Sayangnya, belum ada yang seperti itu."

"Maka kami menyiapkan sesuatu yang istimewa. Sebuah Agon yang belum pernah ada sebelumnya. Tanpa aturan, tanpa batas. Pertarungan bebas besar-besaran sampai mati!"

Gelisah yang aneh bergerak di dada Augusta, merayap pelan ke aliran darahnya.

"Lihat, Augusta! Mereka semua yang menunggu masuk. Dulu mereka tumbang di bawah pedangmu. Semuanya."

"Kini, mereka diberi kesempatan kedua. Untuk bertarung lagi. Untuk merebut hak menantangmu sekali lagi."

"Dan hak itu… hanya milik yang terakhir berdiri."

Kepalanya berdengung. Ia mendengar darahnya berdetak kencang di gendang telinga.

"Nikmati pertunjukannya, Augusta…"

bisik suara itu.

"Nikmati jamuan yang disiapkan untukmu. Hak yang hanya dimiliki oleh yang kuat…"

"Hak… milik yang kuat…"

Desisannya bertemu dengan bisikan itu, dua batu api saling bergesek—dan sesuatu di dalam dirinya menyala.

Api itu membakar darahnya. Membakar keraguan dan pertanyaan yang lama ia pendam.

"Tak perlu repot-repot dengan semua itu..."

Tacet Mark-nya menyala di punggung tangan. Sebuah hentakan angin membelah udara. Pedangnya melesat lurus ke genggamannya.

Para bangsawan terkesiap saat Augusta bangkit dari kursinya dan melompat turun ke arena.

"Kalau kau ingin menantangku, kau tak butuh hak apa pun!"

Ia menancapkan pedang ke tanah, suaranya bergema di seluruh arena.

"Kalau kau punya impian yang sama, arahkan pedangmu pada siapa pun yang paling kau ingin kalahkan. Sekarang juga!"

Begitu ucapannya selesai, gerbang besi berderit terbuka. Para Gladiator berjalan masuk satu per satu, mengelilinginya.

Dalam sekejap, memori membanjiri pikiran Augusta. Ia memandang kerumunan itu. Seperti hampir seratus mata menatap tajam padanya. Tidak satu pun yang asing.

Ia ingat nama-nama mereka. Gerakannya. Kekuatan. Dan kelemahan mereka.

Ia menunggu, tenang dan diam, hingga tanduk perang berbunyi.

Hari itu, ia yang terakhir berdiri di arena. Tapi ia tak mengambil satu nyawa pun.

Hari itu, ia mendengar deru ribuan suara. Tapi bisikan itu… tidak ada di antara mereka.

The "Flawless" Hero

"Siapa dia?"

"Kau bercanda?

Itu Ephor Magno! Tak ada satu jiwa pun di Septimont yang tak mengenalnya."

"Ephor..."

Di balik sudut jalan, Augusta mengunyah gigitan terakhir roti keringnya, matanya tertuju pada sosok tinggi yang berpidato di alun-alun. Pria itu tampak berusia tiga puluhan. Wajahnya terpahat seperti marmer, namun diberi kelenturan oleh senyum hangat yang terbuka. Saat kata-katanya mencapai puncak, ia mengembangkan kedua tangan. Kerumunan meledak dalam tepuk tangan gemuruh.

Seorang juara tak terkalahkan di champion of the public Agons. Gladiator jenius yang muncul sekali dalam generasi. Ia membunuh tujuh Corrosaurus di Sanguis Plateaus dan kembali hidup-hidup, tubuhnya basah oleh darah naga. Mereka memanggilnya "Dragon Slayer". Saat itu, kisahnya bergema di seluruh Septimont.

Ia mendengarkan rakyat. Tak pernah mengabaikan permohonan. Memerintah tanpa nafsu. Seorang Ephor yang dipilih oleh kehendak rakyat. Banyak yang percaya ia akan bangkit sebagai Sang Pahlawan di antara Para Pahlawan yang dinubuatkan untuk zamannya.

Bagi Augusta, gelar itu selalu terasa jauh dan tak terjangkau. Tapi untuk pertama kalinya, ia melihat seseorang yang mungkin benar-benar bisa mencapainya.

Api menyala di dadanya. Prestasi yang dulu ia kira hanya hiperbola, legenda yang mengguncang jiwa—seseorang di masanya sendiri benar-benar hidup menjalaninya. Artinya, mimpinya bukan sekadar khayalan. Ia bisa meraihnya.

Namun perlahan, api itu mulai meredup. Ia mengamati wajah pria itu, pandangannya tertahan pada senyum sempurna yang tak pernah goyah—

"Mengapa seseorang sekuat itu... tidak bisa menyelamatkan Fabianum?"

Tak lama setelah itu, Augusta berdiri berhadap-hadapan dengan pria yang sama, pertanyaan-pertanyaan itu masih menggantung berat di hatinya.

"Selamat, anak muda. Kau telah mendapat Arsinosa's blessing. Kau akan dinobatkan sebagai Juara baru."

Di atas panggung medali, Augusta menghadap Magno saat ia bersiap menyematkan medali di dadanya. Tapi di balik senyum yang dipaksanya tetap, Augusta melihat sepasang mata yang tumpul oleh kelelahan.

Pahlawan yang dulu ia bayangkan kini tak lagi berdiri di sana. Begitu pula api yang dulu menyertainya. Sang Gladiator yang dijuluki Dragon Slayer telah pergi.

Augusta menerima penghargaan itu dalam diam. Lalu, tepat sebelum ia berbalik pergi, ia berbisik—cukup pelan agar hanya pria itu yang mendengar:

"Apakah legenda tentang kau... pernah benar-benar nyata?"

Ia menjawab dengan senyum yang sama. Sunyi.

Beberapa waktu kemudian, seorang Gladiator tanpa nama muncul di arena bawah tanah. Ia mengenakan helm yang menutupi wajahnya, dan baju zirah hitam sehitam obsidian. Ia bertarung seperti orang yang tak punya apa-apa untuk dikalahkan. Hanya mencari yang terkuat. Tanpa gaya. Tanpa martabat. Ia tak bertarung demi kehormatan. Ia bertarung seolah sedang memburu kematian.

"The Nameless" meraih kemenangan dengan kecepatan yang menakutkan, hingga akhirnya menarik perhatian Augusta. Meski kini ia sudah dinobatkan sebagai Juara, ia menerima tantangannya.

Saat pedang mereka bertemu, Augusta langsung tahu. Helm atau bukan, mata yang suram dan penuh beban itu tak bisa disembunyikan.

Ia tak tahu mengapa seorang Ephor yang dihormati, seorang pahlawan yang sudah tak perlu membuktikan apa pun, rela turun ke bayang-bayang untuk bertarung di sangkar penuh noda darah. Tapi saat itu, semua itu tak penting. Yang penting hanyalah lawan kuat di depannya—dan bagaimana cara mengalahkannya.

Baja bertabrakan, lagi dan lagi. Tak satu pun mundur selangkah. Untuk memecah kebuntuan, pedang "The Nameless" memercikkan listrik. Kilat-kilat merah menyambar sepanjang bilahnya. Petir yang dijadikan senjata. Serangan pamungkasnya, yang ditujukan untuk mengakhiri segalanya.

Dan dalam kilatan menyilaukan itu, Augusta melihatnya. Legenda itu. Sang pejuang dari DSanguis Plateaus, petir di tangan, menerobos awan badai dan keputusasaan, membawa harapan bagi yang berada di belakangnya.

Tacet Mark-nya menyala di punggung tangan. Ia tak pernah bisa memanggil petir seperti miliknya. Forte-nya hanyalah bisikan dibandingkan deru guruh sang pahlawan. Tapi meskipun begitu—

Sekilas kecil perlawanan itu membengkokkan aliran petir, hanya sedikit.

Dan dalam celah sekejap itu, Augusta melepaskan seluruh kekuatannya. Satu ayunan terakhir.

Setelah hari itu, the Nameless menghilang dari arena bawah tanah. Bagi dunia, ini hanyalah salah satu dari banyak kemenangan Augusta. Tak seorang pun menyadari bahwa sebuah legenda telah berakhir dengan sunyi.

Beberapa waktu kemudian, di hari yang biasa saja, Augusta menerima sebuah surat. Undangan tulisan tangan dari Ephor's Palace.

Throne of Thorns

"Sebelum kau mengajukan semua pertanyaan 'mengapa' itu... izinkan aku satu pertanyaan dulu."

"Apakah kau... dari Fabianum?"

"Ya."

"Aku sudah menduganya. Tak kusangka anak yatim dari Fabianum akan menjadi Juara Septimont."

"Kau terkejut?"

"Tidak. Hanya... menyesal."

Di ruang penerimaan Ephor's Palace, senyum khas Magno telah memudar. Meski usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari Augusta, ekspresinya—berlawanan dengan semangat muda yang membara di dirinya—terlihat seperti seorang pria yang sudah berdiri di ambang kematian.

"Seranganmu waktu itu,"

katanya tiba-tiba, mengenang duel mereka di arena bawah tanah,

"sangat indah. Aku ragu bahkan diriku yang lebih muda bisa menangkisnya."

"Mengapa…"

Augusta bertanya, suaranya tajam,

"meski semua orang menyebutmu pahlawan, yang kulihat hanyalah penyerahan?"

"Mungkin aku pernah layak disebut pahlawan. Tapi bukan Ephor."

"Sebagai pahlawan, aku bisa menjawab harapan sepuluh... seratus, bahkan seribu orang. Tapi sebagai Ephor, aku tak bisa mewujudkan satu pun visi sejati untuk Septimont."

"Kau duduk di puncak kekuasaan. Bagaimana kau bisa mengaku tak berdaya?"

"Aku tak mencari pembenaran. Saat pertama kali mengemban jabatan ini, aku benar-benar percaya bisa memikul beban dari seribu harapan."

"Tapi aku bisa berbohong pada diriku sendiri. Tidak pada kenyataan. Nak... aku tahu siapa dirimu sejak awal. Hari kau dibawa ke Septimont, aku tahu kau adalah satu-satunya yang selamat dari Fabianum."

"Keberadaanmu adalah pedang yang menggantung di atasku. Dan saat kau menjadi Juara... pedang itu akhirnya jatuh. Aku tak bisa lagi mengabaikan kesalahan yang kubuat—menutup mata atas kehancuran Fabianum, hanya agar mahkotaku yang hina tetap utuh."

"Apakah kau mengatakan ini karena rasa bersalah?"

"Mungkin. Atau mungkin… harapan."

Magno bangkit, lalu mengambil sebuah gelas dari laci tersembunyi di bawah meja.

"Mahkota ini memberiku kekuasaan luar biasa. Tapi juga mengubahku jadi pengecut. Aku bukan lagi pahlawan yang Septimont butuhkan."

Ia mengangkat gelas kosong itu ke arahnya.

"Pakailah mahkota ini, Augusta. Kau telah mengalahkan setiap lawan yang bisa kau lihat. Kini saatnya menghadapi yang tak bisa kau lihat."

"Dan kau pikir aku layak hanya karena aku mengalahkanmu?"

"Tidak. Bukan sesuatu yang semata-mata dangkal seperti itu."

Magno menggeleng.

"Aku tahu karena aku mendengar namamu. Dari puncak Septimont hingga jurang terdalamnya, dari aula emas hingga lorong-lorong kumuh. Tak peduli kekayaan, kekuatan, kasta, atau keyakinan—rakyat terhubung oleh satu nama saja. Dan aku percaya, suatu hari, hubungan itu akan menjadi kekuatan baru yang menggerakkan Septimont maju."

"Aku menguji bobot nama itu dengan pedangku sendiri. Itu... hal terakhir yang bisa kuberikan sebagai Ephor."

"Bahkan jika tulangmu hangus menjadi abu, jangan menyerah pada malam palsu itu."

Untuk sesaat, di balik tepi gelasnya, sepercik api kembali menyala di mata Magno.

Malam itu, para pelayan penjaga menemukan Magno duduk di atas takhta Ephor. Wajahnya pucat, bibirnya keunguan. Racun, kata mereka. Sebuah gelas pecah tergeletak di kakinya, cairannya yang tumpah berkilauan saat mengalir turun dari anak tangga.

Ada yang mengatakan itu ulah para pesaing.

Ada pula yang menyebutnya hadiah dari Senat. Kematian elegan dalam sebuah gelas.

Tapi kebanyakan sepakat: Septimont membutuhkan "pahlawan" baru.

Dan sebagaimana yang Magno ramalkan, nama Augusta mulai menyebar di seluruh Septimont—seperti angin yang tak bisa dihentikan.

Musim semi berganti musim gugur, dan takhta Ephor menyambut penghuni baru.

Augusta berdiri di tempat dulu ia hanya bisa memandang dari bawah. Ia menatap singgasana berduri yang telah melahap begitu banyak pahlawan. Ia teringat Magno di malam terakhirnya. Dalam benaknya, ia melihat pria itu mengangkat gelasnya—untuk satu-satunya orang yang suatu hari akan duduk di sini—lalu meneguk dalam-dalam racun yang menjadi mahkotanya.

Augusta tak punya banyak pikiran rumit di benaknya. Ia tak memendam kebencian pada siapa pun. Ia telah melihat kegelapan dengan mata kepala sendiri, tapi ia juga tahu seperti apa wujud cahaya.

Pikirannya sederhana—

Hanya mereka yang melampaui semua pahlawan yang bisa disebut Sang Pahlawan di antara Para Pahlawan.

Dan duri-duri di takhta itu hanyalah ujian lain yang harus dilalui.

Ia duduk, lalu dengan tangan yang mantap, menempatkan belenggu dan mahkota sekaligus di kepalanya.

"Ephor Augusta, pesan dari Senat. Para Senator meminta audience... untuk membahas hal-hal mendesak." Sang pengawal membungkuk di depan takhta.

"Baik,"

jawab Augusta, tersenyum.

Ia justru tak sabar untuk bertemu para "penantang" di luar arena.

"Pandu jalan."

One Day, In the Arena...

Bagi Augusta, kehidupan sebagai Sang Pahlawan di antara Para Pahlawan tidaklah jauh berbeda dari dulu.

Saat perayaan singkat berakhir, tumpukan dokumen di mejanya masih menunggu. Sehebat apa pun gejolak kemenangan, ia selalu tersapu oleh arus sunyi kehidupan sehari-hari.

Namun Augusta tak keberatan dengan hari-hari yang tenang seperti ini. Agon masih bergemuruh dengan semangat. Tak peduli zamannya, Septimont tetaplah bangsa yang membara dalam gairah.

Semuanya bergerak menuju masa depan yang lebih terang. Semua orang terus melangkah maju.

Meski begitu, Augusta masih menyimpan satu kekhawatiran kecil.

Sebagai Ephor Septimont, ia siap membayangkan masa depan gemilang bagi rakyatnya. Tapi sebagai Augusta, ia merasa terjebak di catatan kaki dari kisahnya sendiri.

Dari masa kecil hingga kini, ia telah menapaki jalan kemuliaan. Dan sekarang, ia berdiri di ujungnya.

Ramalan kuno telah terpenuhi. Ia telah menjadi Sang Pahlawan di antara Para Pahlawan yang dulu hanya bisa ia impikan.

Ia telah bertemu mereka yang ditakdirkan berjalan bersamanya, dan mengatasi ujian yang dulu ia anggap mustahil.

Jika seseorang hendak menuliskan cerita yang akan diwariskan sepanjang zaman, mungkin inilah akhirnya. Bab terakhir dari Sang Pahlawan di antara Para Pahlawan, Augusta.

Sebuah penutup yang sempurna. Tanpa celah untuk penyesalan.

Tapi hidup bukan sandiwara. Ia tak berakhir hanya karena puncaknya telah terlewati.

Ia harus bertanya, dan ia ingin bertanya—

Ketika suatu hari Septimont tak lagi membutuhkan Augusta, ketika tanah ini mulai melahirkan legenda baru—

Ketika kisah ini benar-benar berakhir... siapa lagi yang bisa ia jadi?

Dengan pertanyaan itu yang terus mengusik, Augusta meninggalkan Istana Ephor tanpa suara.

Ia tak memilih arah. Ia membiarkan nalurinya yang memimpin.

Saat ia berjalan tanpa tujuan, pikirannya terus berputar—

Haruskah ia mengejar kekuatan yang lebih besar? Mencari lawan baru yang lebih tangguh? Menjelajahi daratan di luar Septimont? Atau mungkin, ketika segalanya telah tenang, meletakkan pedang dan menjalani hidup yang tenang dan damai?

Begitu banyak kemungkinan. Begitu banyak jalan yang terbentang di depannya.

Saat Augusta kembali menyadari dirinya, ia menyadari bahwa kakinya telah membawanya ke arena. Tempat yang penuh dengan kenangan.

Hari ini adalah hari istirahat. Arena, untuk sekali saja, berdiri kosong.

Tidak, bukan benar-benar kosong.

Seolah ada kesepakatan diam-diam, seseorang lain juga telah masuk ke sana.

Matanya bertemu dengan Augusta. Dan keduanya tersenyum, seolah berbagi rahasia yang hanya mereka berdua yang tahu.

Begitu saja, semua kekhawatiran Augusta larut pergi.

Ia belum punya jawabannya. Tapi ia masih punya waktu untuk menemukannya.

Tak perlu terburu-buru.

"Sudah lama rasanya aku tak meregangkan tubuh dengan benar..."

"Nah, temanku yang terhormat—"

"Bagaimana kalau kita lakukan duel yang sudah terlalu lama tertunda?"

Last updated