Chisa

🔍 Informasi
Tanggal Lahir
Unknown
Jenis Kelamin
Perempuan
Tempat Lahir
Ashinohara
Afiliasi
Startorch Academy
📋 Forte Examination Report
Resonance Power
Eye of Unraveling
Resonance Evaluation Report
Otorisasi dikonfirmasi. Berkas terkait telah dibuka. Selamat datang, Inspektur ███
Forte Examination Report: NHA-Eye of Unraveling-017
Subject: Chisa Kuchiba Tipe Resonator: Mutant Lokasi Tacet Mark: Lengan atas kanan Lembaga Pengujian: Ashinohara - Neo Honami - Resonator Monitoring Center
Pengujian menunjukkan subjek memiliki kemampuan kognitif luar biasa untuk secara intuitif memahami struktur, bentuk, dan pergerakan objek yang diamati. Saat menggunakan Forte-nya, ia mampu menganalisis titik lemah objek melalui penglihatannya dan memberikan gangguan presisi untuk memicu kehancuran struktural.
Catatan: Subjek melaporkan melihat "benang-benang" yang menyebabkan objek terurai. Analisis awal menunjukkan bahwa "benang-benang" tersebut bukan entitas nyata, melainkan manifestasi visual yang eksklusif bagi penglihatannya.
Overclock Diagnostic Report
Access Level Upgrade: R-III
Forte subjek menunjukkan sifat ekstensif dan potensi pertumbuhan yang melampaui ambang batas keamanan. Dalam kondisi ekstrem, ia berpotensi menganalisis struktur spasial abstrak, mengidentifikasi "benang-benang" anomali di dalam ruang anomali, serta memicu kejadian distorsi realitas, termasuk kerusakan spasial ██.
Indikator Anomali Saat Ini:
Terdeteksi fluktuasi tajam berulang pada Kurva Rabelle-nya, dengan nilai puncak mendekati batas kritis.
Stabilitas Forte tetap lemah, menimbulkan risiko terukur terhadap Overclocking.
Langkah Pemantauan Awal: Subjek diwajibkan mengenakan perangkat supresi Resonator berbentuk kalung untuk mengatur Forte-nya dan dimasukkan ke dalam daftar observasi Resonator berisiko tinggi.
Lembaga pemantau terkait diperintahkan untuk terus memperbarui catatan kepada otoritas pusat mengenai perubahan Forte dan lokasi real-time subjek. Jika dianggap perlu, tindakan wajib dapat diambil sesuai ketentuan hukum.
📦 Cherished Items
Old-Style Scissors

Sepasang gunting bergaya vintage. Dulu merupakan pemandangan umum di setiap pasar puluhan tahun lalu, kini perlahan tenggelam dalam keterlupaan.
Dulu, gunting ini memotong benang-benang lepas dari seragam sekolah. Pernah pula menggunting pita hadiah ulang tahun. Takdir memang suka menyembunyikan pertanda dalam gerakan terkecil sekalipun. Setiap bukaan dan tutupannya menandai tak terhitung akhir dan permulaan dalam hidupnya—memotong benang, pita, struktur, maupun lingkaran tak berujung.
Setiap potongan tak pernah benar-benar menjadi akhir, melainkan bisikan halus akan sesuatu yang baru.
Red Hair Ribbon

Ada yang bilang benang merah memberi perlindungan. Yang lain percaya ia mengusir kejahatan. Tapi dalam kisah yang lebih kuno, konon benang itu mengikat orang-orang dengan tarikan takdir yang tak terelakkan.
Sebuah ikatan tak kasatmata, terjalin oleh takdir, telah diam-diam menghubungkannya dengan orang lain dan pada suatu masa depan yang belum diketahui—dengan kekuatan yang tak tertahankan.
Sejak saat itu, seberapa pun panjang atau sunyinya perjalanan, ia terus melangkah maju dengan echo of companionship menyertainya.
Protective Charm

Ia masih mengingat hari itu. Hujan baru saja reda, meninggalkan langit biru tanpa cela. Orang tuanya menggenggam tangannya saat mereka bersama-sama menarik tali lonceng kuil. Di tengah dentang yang masih bergema, ibunya mengikatkan jimat pelindung kecil ke pergelangan tangannya.
"Ini akan selalu melindungimu, Chisa."
Chisa kecil menggoyangkan pergelangannya, memandangi rumbai jimat itu bergoyang tertiup angin, seolah menjawab sebuah janji yang belum ia pahami.
"Tak peduli sejauh apa kau pergi, kapan pun itu, kami akan selalu di sini—menunggumu pulang."
📜 Story
The Summer Where the Story Began
Ia melewati musim panas usia enam tahunnya dengan duduk di pundak ayahnya.
Angin malam membawa aroma campuran petasan dan cumi bakar dari kios festival. Dengan sebatang marshmallow di satu tangan, Chisa kecil menunjuk langit dengan tangan satunya lagi. Lentera berbentuk ikan mas bergoyang tertiup angin, dan kembang api mekar di atas kepala. Ia melihat benang-benang merah yang diikat di pergelangan tangan orang-orang meregang dan saling menjalin, membentuk jaring tak kasatmata yang hangat dan melingkupi kerumunan festival dengan lembut.
"Apa permohonan yang tadi kamu ucapkan, Chisa?"
tanya ibunya, dengan pantulan kembang api yang lembut di matanya. Pipi Chisa lengket oleh sirup apel saat ia mengembungkannya dan dengan bangga menyatakan,
"Aku mau jadi seperti Ibu! Membuat guntingan kertas terindah supaya aku bisa menyimpan semua hal berharga dan bahagia—"
Musim panas saat usianya dua belas tahun berbeda. Tahun itu, dunianya tiba-tiba jatuh ke dalam keheningan.
Ayahnya terus-menerus pergi dinas, dan pintu kulkas dipenuhi jadwal shift ibunya. Lama-kelamaan, ia terbiasa dengan bunyi bip dingin yang menyambutnya di ujung telepon.
"Gak apa-apa. Aku bisa jaga diri sendiri,"
bisik Chisa kecil pada dirinya sendiri. Dengan tekad itu, ia membuka tutup panci dan memutuskan memasak sukiyaki beraroma lemon untuk dirinya sendiri. Bungkus paket makanan siap saji di meja bertuliskan tebal: hidangan penyembuh untuk kumpul keluarga.
Kaldu mulai mendidih, memenuhi ruangan dengan aroma daging sapi dan kaya sayuran. Uap mengaburkan jendela. Saat Chisa menoleh ke kaca yang berkabut, yang terlihat hanyalah bayangannya sendiri, kesepian. Tak ada tawa, tak ada denting gelas.
"Untuk kumpul keluarga."
Kalimat yang terdengar begitu lembut, pikirnya, namun terasa sangat, sangat jauh.
The Long Rainy Season
Musim panasnya yang kelima belas beraroma serutan pensil dan kesepian.
Suatu sore, hujan tak henti-hentinya di musim tsuyu sempat reda sejenak. Sambil membawa tumpukan buku yang akan dikembalikan, Chisa menyeberangi halaman sekolah dan melewati ruang perlengkapan. Dari balik pintu terdengar isakan tertahan. Lewat celah sempit, ia melihat teman sekelasnya Ritsuko terpojok oleh tiga gadis—bajunya bernoda tinta, kacamata pecah berserakan di lantai. Gadis di depan menempelkan korek api ke sulaman nama di seragam Ritsuko, mengisi udara dengan bau anyir kain yang hangus.
Pemandangan itu mengingatkannya pada katak di pelajaran biologi—dipaku rata di nampan bedah, kaki-kakinya terentang, tapi jantungnya masih berdetak sia-sia. Sebelum sempat berpikir, tangannya sudah bertindak. Ia mendorong pintu yang terbuka sedikit itu dan mengeluarkan gunting yang selalu dibawanya.
Gunting kecil itu dulu setia menemani ibunya sepanjang kariernya, lalu diwariskan padanya. Kini, untuk pertama kalinya, ujungnya mengarah ke wajah seseorang.
"Biarkan dia pergi,"
tuntutnya.
Pembalasan datang cepat. Keesokan pagi, mejanya terukir kata "idiot". Lokernya meluap dengan buku pelajaran yang disobek-sobek. Tapi yang terburuk adalah wajah-wajah yang kabur—begitu ia mencoba mengenali siapa yang menjatuhkannya, semua wajah di sekitarnya telah melebur jadi coretan warna tak berbentuk. Laporan dokter menyebutnya "gangguan pengenalan wajah psikogenik." Akibat Forte-nya yang terbangun, otaknya memutus benang yang memungkinkannya mengenali wajah orang.
Saat itu, ia mendengar bunyi samar—bukan patahnya saraf yang rapuh, melainkan seperti suara tali lentera ikan masnya yang tersangkut di dahan bertahun-tahun lalu. Benang-benang hangat yang dulu mengikat orang-orang perlahan terurai, jatuh berhamburan seperti kepingan yang retak.
Saat guntingnya merobek catatan terakhir penuh kata-kata kejam, hujan menghantam jendela kelas. Chisa menatap pantulan dirinya yang kabur dan berkedip di kaca, lalu tiba-tiba sadar: tumbuh dewasa berarti belajar memotong sendiri semua benang yang kusut—tali lentera yang tersangkut di dahan, benang layang-layang yang makin menjauhkannya dari orang tua, atau lengkung kejam yang membeku di bibir para pengganggunya.
Musim hujan terus berlangsung. Suara jangkrik muncul seiring panas musim panas yang kian menguat. Sambil menggenggam erat guntingnya, Chisa mulai membayangkan jalan yang bisa ia ukir sendiri: mungkin sepi, tapi setia pada hatinya. Jalan yang tak perlu ia tinggalkan lagi.
Blurred Features
Di musim panasnya yang keenam belas, awan kelam membentang tanpa ujung, dan hujan deras mengguyur. Guntur menghantam gendang telinganya saat ia berdiri di depan jendela kaca setinggi langit-langit di Resonator Monitoring Center.
"Kamu dengar aku?"
Suara itu tajam penuh ketidakpuasan. Chisa mengangkat pandangannya, hanya untuk melihat wajah sang pembicara perlahan larut menjadi kosong.
"Jelas sekali,"
jawabnya pada kehampaan.
Kalung itu mengunci di lehernya dengan bunyi klik, membawa sentuhan dingin perangkat pengawas.
Saat badai akhirnya reda, ia pun pulang. Melewati taman, ia melihat seorang anak laki-laki menangis di samping seluncuran, menggenggam erat benang layang-layang yang putus. Dalam pandangannya, layang-layang yang tersangkut di pohon tampak jelas luar biasa: tiga dahan membentuk kunci alami, dan jika dahan paling kanan dipotong—
"Tunggu dulu,"
ia menghentikan anak itu sebelum menarik benangnya. Mata sang anak melebar. Dengan bunyi patah yang lembut, dahan itu terbelah, dan layang-layangnya perlahan melayang turun, jatuh pelan ke pelukannya.
"Makasih—"
Seruan riangnya terhenti oleh teriakan nyaring.
"M-monster! Jauhi anakku!"
Mengikuti arah pandang sang ibu yang ketakutan, Chisa pun kembali sadar akan kalung yang menggigit lehernya dengan dingin.
Bukan masalah besar. Ia mengingatkan dirinya sendiri—ia seharusnya sudah terbiasa dengan ini.
Ia bisa melihat rangka layang-layang, lintasan tetesan hujan, bahkan aliran elektron yang mengalir di awan badai dengan kejelasan luar biasa—tapi tak pernah bisa menembus wajah orang lain, apalagi hati mereka.
Ia berbalik dan hendak melangkah ke dalam hujan, tapi tarikan kecil menahan lengan bajunya. Anak itu telah melepaskan diri dari genggaman ibunya. Ia menekan sebungkus permen berbentuk bintang ke telapak tangan Chisa.
"Ini buat kamu! Guruku bilang cuma yang berani yang dapat permen bintang, jadi…"
Bungkus plastiknya berderak pelan di tangannya. Chisa menatap anak itu. Wajahnya tetap kabur, tapi bersinar—seperti kunang-kunang yang mengelilingi lentera di festival lama.
"Ibu bilang orang yang pakai kalung begini itu jahat,"
bisiknya, mendekat.
"Tapi aku nggak percaya. Cara kamu motong dahan tadi? Keren banget."
Chisa berhenti sejenak, lalu berjongkok dan mengelus kepalanya.
Perangkat di lehernya tetap diam. Spektrum Resonansinya menunjukkan kurva langka yang stabil. Seperti langit musim panas setelah badai, secercah cahaya akhirnya menembus.
Nighmare of the Second Month
"...!"
Chisa terbangun dari mimpi buruknya, keringat dingin membasahi punggungnya. Masih dalam keadaan linglung, sisi tubuhnya terasa nyeri tajam—rasa sakit hantu yang mencakar sarafnya.
Tapi kulitnya utuh, tidak seperti dalam mimpinya. Ia menarik napas dalam, lalu menekan dada, berusaha menenangkan detak jantung yang kacau.
Sudah dua bulan sejak ia terjebak di Honami. Tubuhnya perlahan beradaptasi dengan hari yang berulang tanpa akhir, tapi tiap malam mimpi buruk itu menarik jiwanya semakin dalam ke jurang.
Ia menoleh ke arah sofa. Sumika tertidur pulas—satu tangan terlepas dari bantal, tangan lainnya tergeletak di samping buku catatan terbuka yang penuh coretan angka dan catatan acak.
Di luar, hujan turun tanpa henti.
Saat Sumika terbangun, senja sudah datang. Badai mulai reda. Bintang-bintang samar bertebaran di langit biru pekat, seperti paku perak yang tersebar acak di malam yang dingin. Masih menguap, ia mengikuti Chisa masuk ke sebuah toko kelontong. Sementara Chisa dengan hati-hati mengumpulkan makanan dan perlengkapan dari rak, ia menoleh dan melihat Sumika terpaku pada papan iklan berkedip di atas kepala—buku catatan dan pulpen sudah siap di tangannya.
"Chisa, lihat ini—"
bisiknya, suaranya penuh semangat yang ditahan.
"Ini sama persis seperti kemarin! Waktu, kecepatan kedipannya... semuanya cocok! Kalau kita bisa kumpulkan sedikit lagi data... kita bisa temukan pola di balik loop ini!"
Melihat kilau di matanya, Chisa tanpa sadar menggenggam erat tangannya. Di telapaknya masih tersisa sensasi potongan kemarin—saat ia memotong benang Tacet Discords—getaran dingin seperti kain sutra yang putus.
Setiap kali ia mengeluarkan gunting dan menggunakan Forte-nya, garis-garis merah muncul dalam pandangannya: benang-benang kehidupan yang hanya bisa dilihatnya. Berbeda dengan kehangatan urat nadi manusia, benang-benang ini menguapkan bau busuk. Mereka mengejar para Left Behind, mengoyak mereka, lalu menarik nyawa rapuh itu masuk ke loop baru bersama Lament.
Chisa menatap bayangannya di jendela: wajah tenang, nyaris pucat, tapi masih menyisakan bara api di matanya.
Kemarin, di toko yang sama ini, ia bertemu lagi dengan gadis itu. Gadis yang selalu ia temui di tiap loop, yang dengan tulus berbagi camilan, tanpa pernah menyadari bahwa dirinya memancarkan cahaya iridescent khas Left Behind. Mungkin justru kebaikan rapuh namun teguh itulah yang membuat Chisa enggan menerima kenyataan bahwa kota ini telah selamanya terpenjara di masa lalu.
Malam memang panjang, tapi fajar akan selalu datang.
Saat cahaya pertama akhirnya menembus awan kelabu, ia merasa mendengar dengung getaran halus dari benang-benang itu. Menempelkan tangan ke dadanya, Chisa tahu—saat loop berikutnya dimulai, segalanya akan di-reset lagi.
Tapi itu tidak masalah.
Selama gunting masih berada di genggamannya, selama kepingan kehangatan itu belum sepenuhnya dilupakan...
Ia akan terus melangkah maju, sampai hari ia akhirnya bisa memotong mimpi buruk ini dan memutus jeratnya.
Beyond the Summer's End
Di sore hari, gerimis mengetuk jendela dengan pelan.
Chisa berdiri di depan jendela kaca setinggi langit-langit di Spacetrek Archive. Di usia delapan belas, ia akhirnya punya waktu luang untuk mendengarkan irama hujan—bukan dentuman monoton hujan berulang di Honami, melainkan tetesan alami Lahai-Roi. Segar, hidup, dengan semburat manis samar di udara. Jenis hujan yang dengan santai membasahi seragam sekolah yang tergantung di balkon, atau menguyur siswa yang tak siap di tengah jalan pulang.
Uap perlahan mengepul dari cangkir kopi di mejanya. Dengan guntingnya, ia membuka bungkus gula... Ya, ia masih membawanya ke mana-mana, meski kini lebih sering dipakai untuk memangkas tanaman pot atau membuka paket. Gula itu larut perlahan ke permukaan hitam kopi. Di luar jendela, beberapa siswa berjubah hujan kuning cerah melompat-lompat di genangan air. Warna cerah mereka menusuk kabut abu-abu gerimis, membangkitkan kenangan tentang hari-hari yang dihabiskan menghadapi loop tanpa akhir dan permulaan yang tak henti—tentang seseorang yang dulu berjalan bersamanya menuju tujuan dari siklus abadi itu, memotong jalan melewati malam yang panjang; dan tentang seseorang yang memilih menapaki jalan palsu berulang kali sendirian, mengubah dirinya menjadi batu penjuru kebenaran.
Saat hujan mereda, Chisa keluar dari Archive sambil menggenggam sebuah buku. Angin senja yang lembap mengangkat helai rambut barunya yang pendek. Kampus terbentang di hadapannya, bermandikan cahaya lembut selepas hujan. Sekelompok mahasiswa Teknik sedang berdebat sengit tentang perangkat melayang. Seseorang melihatnya lewat kabut yang mulai menipis, melambai ceria, dan memanggilnya untuk bergabung—
Ia memandang jiwa-jiwa muda yang penuh semangat ini—kawan seperlangit, semua menuju lautan bintang yang sama. Dan dengan kejelasan yang menusuk, ia sadar: ia bukan lagi pengembara yang tersesat dalam loop tanpa akhir. Hidupnya, setelah masa terhenti yang panjang, kini telah kembali menyatu dengan arus deras yang membawa semua orang maju.
Ia benar-benar telah meninggalkan musim panas abadi itu di belakang.
Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju masa depan barunya.
Last updated