Cartethyia

🔍 Informasi
Jenis Kelamin
Perempuan
Tempat Lahir
Rinascita
Afiliasi
Ragunna
📋 Forte Examination Report
Resonance Power
Feathered Tempest
Resonance Evaluation Report
[Resonance Evaluation Report RA-X006]
Time of Awakening tidak diketahui. Diduga kuat akibat pengaruh yang saling bertentangan antara Sentinel Imperator dan Threnodian Leviathan, data Spectrum Performance milik Cartethyia melampaui nilai standar sebesar ▇▇▇▇▇▇▇. Perhitungan data yang akurat dengan metode yang ada saat ini tidak memungkinkan.
Analisis terhadap sampel uji menunjukkan Kurva Rabelle yang tidak konvergen dengan pola gelombang periodik yang jelas. Oleh karena itu, Cartethyia diklasifikasikan sebagai Congenital Resonator.
Sistem telah mengklasifikasikan Cartethyia sebagai subjek unik. Berkasnya telah disegel di bawah kelompok proyek khusus. Tingkat akses: ▇▇▇ Sistem akan melakukan pemantauan terus-menerus terhadap Cartethyia.
Overclock Diagnostic Report
Grafik waveform Cartethyia menunjukkan fluktuasi elips dengan Time Domain yang stabil. Nilai puncak antara batas atas dan bawah menunjukkan tren naik secara berkala, namun belum melewati ambang batas kritis. Tidak ditemukan fluktuasi abnormal.
Kekuatan eksternal dan internal dalam diri Cartethyia hampir mencapai kondisi fusi sempurna.
Resonant Criticality: Tinggi. Stabilitas tinggi dengan risiko Overclocking yang sangat minim. Namun perlu dicatat bahwa tubuh Cartethyia menunjukkan fluktuasi daya yang tidak stabil saat berada jauh dari Rinascita.
Cartethyia merupakan individu langka yang telah mengalami Second Awakening, memungkinkannya berpindah secara bebas antara dua bentuk. Perlu ditekankan bahwa ini bukan kasus Overclocking, melainkan pemanggilan kekuatan secara presisi.
Catatan dari seorang Bloom Bearer: Saat Nona Cartethyia... eh, maksudku, Fleurdelys, memamerkan kekuatannya, badai yang muncul hampir menghancurkan seluruh simulasi! Ya ampun. Kita harus ekstra hati-hati di uji coba berikutnya!
📦 Cherished Items
Worn Wooden Sword
Sebuah pedang panggung kecil dari kayu. Bahkan pedesaan sunyi seperti Egla Town tak luput dari demam pertunjukan panggung populer Rinascita. Kincir angin yang berputar dan kisah kepahlawanan para ksatria membentuk masa kecil Cartethyia. Pedang kayu ini adalah hadiah dari seorang dramawan yang telah pensiun. Setiap hari sepulang pelajaran, ia berkeliling desa dengan mata berbinar dan semangat membara, mengacungkan pedang ini sambil menangani setiap “ketidakadilan” yang ia temui.
Ini seharusnya menjadi awal perjalanannya sebagai ksatria pengembara.
Namun takdir penuh dengan hal-hal yang seharusnya terjadi, tapi tak pernah berjalan seperti yang kita bayangkan.
Golden Laurel
Sebuah mahkota kecil dari daun laurel emas.
Saat mahkota emas itu diletakkan di kepalanya, bisikan dari Sang Ilahi untuk pertama kalinya terdengar di telinganya. Sejak saat itu, ia bukan lagi Cartethyia. Ia akan menjadi Blessed Maiden milik Rinascita, sosok “Fleurdelys” yang disebut oleh semua orang.
Takdir kadang terasa terlalu baik di awal, hanya untuk berubah menjadi hujan yang tak pernah berhenti turun.
Hand Puppets
Boneka tangan yang terkunci dalam pertengkaran kecil.
Ia telah menjelajahi menara itu seolah tanpa akhir, namun tak menemukan satu pun jejak manusia lain. Maka ia membuat boneka, memainkan sandiwara demi sandiwara, hanya agar tidak lupa cara bicara dan untuk mengisi keheningan dalam kesendirian.
Ia merindukan pertunjukan yang pernah ia tonton di dunia orang hidup, merindukan ladang gandum di pedesaan, minuman manis, dan suara tawa manusia.
Takdir bisa memenuhi hati kita dengan nostalgia, bahkan saat ia mendorong kita untuk terus berjalan sendirian.
📜 Story
The Knight's Faded Hours
Seorang dramawan yang telah pensiun senang menceritakan sebuah kisah:
Dahulu kala, di pedesaan Egla Town, hiduplah seorang ksatria pengembara. Dengan pedang di tangan, ia menjelajah jauh ke segala penjuru, mencari sosok raksasa legendaris. Raksasa yang berdiri setinggi kincir angin, dengan lengan panjang dan ramping seperti bilahnya. Berkali-kali sang ksatria bertarung habis-habisan melawan raksasa itu, namun raksasa itu tak pernah berkata sepatah kata pun—hanya melambaikan lengannya, membuat semua serangan sang ksatria menjadi sia-sia.
Sebagian orang menertawakan kebodohan ksatria itu, sebagian lagi merasa iba atas delusinya. Bagaimanapun juga, raksasa yang dimaksud tak lebih dari sebuah kincir angin, dan pertempurannya hanyalah khayalan. Tapi, gadis paling usil di desa melihatnya dengan cara yang berbeda.
Ia menemukan sebuah helm ksatria, lalu memohon pada sang dramawan untuk sebuah pedang kayu kecil.
“Untuk bertarung demi raksasa seperti itu,”
katanya,
“pasti hatinya benar-benar tulus dan mulia.”
Maka, ia pun ingin menjadi seperti ksatria itu—mengejar raksasa yang merobohkan rumah dan menyebarkan ternak, serta memastikan bahwa para Golden Thiefbats yang berkeliaran di jalanan tak bisa lagi mencuri harta dari para pelancong.
Menunggangi seekor Tumbleyak dengan penuh gaya, ia melaju melewati ladang gandum. Dunia terasa begitu luas untuk pertama kalinya. Di sinilah legenda sang Blessed Maiden dimulai. Melintasi ladang, merayakan pesta, hingga menapaki Inverted Tower.
Sebuah petualangan besar pun dimulai.
Steadfast in the Final Dance
Petualangan itu terus berlanjut untuk beberapa waktu.
Dalam momen-momen yang tak disadari siapa pun, gadis itu telah menjelajahi setiap ladang di Whisperwind Haven. Nakal dan penuh semangat, ia bahkan sempat mencuri seteguk anggur sakral di bawah pengawasan penjaga, menari-nari di atas panggung tinggi, dan mengubah upacara khidmat menjadi kekacauan total. Bahkan tembok penjara milik Ordo pun ia ubah menjadi kanvas pribadinya.
“Dia benar-benar gadis paling liar di pedesaan,”
kata orang-orang.
“Takdir yang serius bukan untuknya, dan tak ada dinding, sekuat apa pun, yang bisa menghentikannya melebarkan sayap.”
Namun, mengejutkan semua orang, justru dialah yang terpilih oleh Divinity.
“Mengapa dia?”
tanya sebagian.
Ia hanyalah putri seorang pejabat biasa, gadis desa yang tak punya disiplin! Tak setetes pun darah bangsawan mengalir dalam dirinya. Bagaimana mungkin ia bisa memahami tatanan dunia ini?
“Dialah orangnya!”
seru yang lain.
“Ia mendengar kesedihan kita, lalu menggantinya dengan tawa! Jika ada yang pantas mengenakan mahkota Divinity, maka itu adalah dia.”
Tapi apa yang dipikirkan sosok yang kelak menyandang nama Fleurdelys atas semua ini? Sebelum upacara pemberian nama sucinya, di sebuah aula pengap dan membosankan, ia menari untuk terakhir kalinya sebagai Cartethyia.
Apakah ia bingung oleh bisikan Divinity? Takut akan masa depan yang tak pasti? Yakin bahwa ia mampu mengangkat pedang suci?
Ia hanya menyimpan nama "Cartethyia" dalam-dalam di hatinya. Selamat tinggal, ladang gandum yang bergoyang ditiup angin, dan para Tumbleyak yang bebas berkeliaran. Di dunia yang begitu luas, selalu ada seseorang yang harus mengangkat pedang. Seseorang yang harus terikat dalam duri. Seseorang yang harus menerima beban tanggung jawab. Seseorang Harus menjadi Fleurdelys, sang penjaga Rinascita.
Hesitation Amid Gale and Tide
Sebagai Fleurdelys, ia harus maju ke medan perang dengan pedang di tangannya.
Untuk itu, ia belajar tanpa henti. Ia mempelajari kitab-kitab Ordo, melatih kemampuan bertarung, dan mendengarkan suara rakyat, berusaha memenuhi setiap harapan mereka. Saat ada yang memohon kesembuhan, ia memastikan obat-obatan berharga sampai ke tangan mereka. Saat ada yang menginginkan kedamaian, ia mendengarkan pengakuan mereka, menampung luka dan penyesalan dari masa lalu. Saat wabah Tacet Discord muncul, ia segera menghunus pedangnya dan menghentikannya sebelum meluas. Sebenarnya, semua itu tak jauh berbeda dari apa yang biasa ia lakukan di rumah.
Yang berubah hanyalah dunia di sekitarnya. Ia tidak lagi menghadapi desa kecil atau wajah-wajah yang ia kenal. Kebanyakan dari mereka yang datang padanya adalah orang asing. Tapi bagi Cartethyia, setiap orang seperti lampu kecil dan semakin banyak yang ia bantu, langit malam Rinascita akan semakin bersinar terang.
Namun dunia ini terlalu luas, dan Ordo tidak sebersih seperti yang ditulis dalam buku. Para bangsawan sibuk mengejar kepentingan sendiri, dan para Acolyte yang mengaku taat hanya menjalankan iman sebagai pertunjukan, menutup mata pada jeritan rakyat. Ia melihat para bangsawan yang menyombongkan kebaikan hati, tapi menolak mendengar mereka yang menderita, sambil terus mengisi kantong sendiri.
Di saat-saat seperti itu, yang bisa ia lakukan hanyalah menggenggam pedangnya lebih erat.
Ia mulai merasakan keraguan, kegelisahan, dan kekecewaan. Tapi justru karena itulah, genggamannya tidak pernah goyah saat menghadapi Dark Tide. Ia tahu, ia harus bertanya pada Divinity. Ia tidak bisa diam.
Apa pun jawaban yang menantinya, Fleurdelys sudah siap menerimanya.
Dengan tekad itu, ia melangkah masuk ke dalam menara. Seorang diri.
Yet Within Solitude
Ia seolah telah bermimpi sangat lama.
Dalam mimpi itu, himne dan pujian datang padanya bagai gelombang tak berujung, menenggelamkannya. Ia mengangkat pedangnya berulang kali untuk membelah ombak itu, bertarung melawan makhluk laut raksasa di tengah arus. Ia bertarung sekuat tenaga. Bahkan saat air itu berubah menjadi bilah tajam yang bisa mengoyak daging, ia tidak mundur selangkah pun.
Saat membuka mata, ia mendapati dirinya sendirian di tempat asing.
Di mana ia berada? Untuk apa ia ada di sana? Siapa dirinya? Semua jawaban itu seolah telah menghilang dari ingatan.
Ia menjelajahi menara, mencari sesuatu yang hilang. Ia bahkan mencoba masuk ke menara pusat untuk menemukan jawaban. Tapi setelah menyusuri setiap sudut yang bisa dijangkau, yang ia temukan hanyalah dirinya sendiri. Tak ada sosok lain. Hanya satu jiwa yang ada di sana—dirinya.
Maka ia mulai berbicara pada dirinya sendiri. Menjahit boneka dari kain bekas. Menciptakan cerita.
Anehnya, kabut ingatannya mulai menipis, sedikit demi sedikit, di bawah jemarinya.
Ia membuat satu boneka gadis dengan pedang, dan satu lagi menyerupai monster laut. Ia membisikkan beberapa dialog di antara keduanya, lalu terdiam. Ia mengenal kisah ini. Ia pernah mendengarnya. Gadis pembawa pedang itu melakukan perjalanan untuk menghadapi raksasa legendaris yang mengerikan. Berkali-kali ia melawannya dengan segenap tenaga.
Apapun alasan sang gadis bertarung, ia memahami satu hal—
Setiap kali ia mengangkat pedangnya, masa lalunya tidak lagi penting. Yang penting hanyalah apa yang harus dilakukan saat itu juga.
Dan jika itu benar, maka kehilangan ingatan bukanlah sebuah kehilangan yang besar. Di dunia yang begitu luas, ia akan menemukan kembali dirinya sendiri.
Dan saat saat itu tiba, entah ia ternyata sang pejuang atau justru sang monster—ia siap menerima jawabannya.
The Wandering Knight Marches To Freedom
Di sebuah restoran kecil di Whisperwind Haven, seorang gadis muda memesan beberapa Laurus Salad. Sambil menunggu makanannya, ia diam-diam menyelinap ke dapur, mengikuti sang kepala koki dan mengamati setiap gerakan memasaknya dengan saksama.
"Hmm. Tambahkan lagi beberapa Viscum Berries, ya. Ah, iya, iya. Dan satu lagi!"
"Kamu juga bisa tambahkan madu... Ya, terima kasih!"
"Dan kamu ini dari mana munculnya, bocah kecil? Kalau lagi nunggu makanan, harusnya tunggu di luar."
Sang kepala koki meletakkan alat masaknya dan menoleh—terkejut. Wajah gadis di depannya terasa familiar, tapi ia tak bisa mengingat namanya.
"M-maaf banget! Aku cuma pengin nyontek sedikit resepmu. Aku bakal menempuh perjalanan panjang, dan belum tentu bisa nemu restoran seenak ini lagi. Kalau maafku kurang, aku siap motongin kayu bakar buat ganti."
"Ini pertama kalinya kamu makan di sini? Rasanya aku pernah lihat kamu deh."
Kepala koki itu menyerahkan sepiring salad pada si gadis penasaran.
"Jangan-jangan dari jendela kaca patri itu...?"
"Bukan pertama kali, kok! Tapi memang udah lama sejak terakhir aku ke sini,"
jawab sang gadis sambil menerima piringnya.
"Namaku Cartethyia. Aku ksatria pengembara, lagi bersiap untuk petualangan baru. Kalau suatu saat butuh bantuan, tinggal panggil aja, ya."
"Aku harus nyobain ini dulu sebelum mulai perjalananku!"
Gadis itu menyuapkan sesendok salad ke mulutnya.
Di dunia yang begitu luas, semangkuk salad penuh Viscum Berries jadi awal yang sempurna untuk memulai langkah baru.
"Enak banget."
Pujinya tulus dari hati.
Last updated