Carlotta
Last updated
Last updated
Jenis Kelamin
Perempuan
Tempat Lahir
Ragunna
Afiliasi
The Montelli Family
Reshaping Dimensions
[ Dikutip dari Catatan Internal Keluarga Montelli - Access Shared ]
Codename: Opal
Resonance Awakening anggota ini terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu, dan ia memiliki kontrol yang sangat baik atas Forte-nya.
Tacet Mark-nya terletak di area punggung bawah, dan tidak ditemukan perubahan fisik signifikan setelah Awakening. Dia mampu menciptakan kristal bercahaya tanpa batas yang menyerupai opal, yang dapat dikonstruksi ulang menjadi senjata api dan amunisi sesuai kebutuhan. Saat menggunakan Forte, rambutnya juga menampilkan efek kristalisasi. Musuh yang terkena kristal ini juga akan mengalami kristalisasi.
Yang menarik, beberapa orang pernah mencoba mengambil keuntungan dengan mengoleksi "permata" ini, tetapi mereka mendapati bahwa kristal tersebut tidak bisa dijual atau diperdagangkan. Secara tampilan memang menyerupai batu permata berharga, tetapi pada dasarnya, kristal ini adalah suatu medium yang memicu rekonstruksi struktur, yang dapat menyebabkan frekuensi target yang terkena runtuh dan terurai hingga lenyap sepenuhnya.
Pola Resonance Spectrum yang dimilikinya menunjukkan kemiripan dengan dekorasi kaca patri dan bentuk alami kepingan salju. Diperkirakan bahwa hal ini berkaitan dengan perilaku proaktifnya dalam menentang tradisi serta penggunaan dekorasi sebagai senjata saat Forte-nya pertama kali bangkit.
Analisis sampel uji menunjukkan non-convergent Rabelle’s Curve, sehingga anggota ini diklasifikasikan sebagai Mutant Resonator dengan periode inkubasi.
[ Dikutip dari Catatan Internal Keluarga Montelli - Access Shared ]
Codename: Opal
Grafik gelombang anggota ini menunjukkan fluktuasi elips. Pola Time Domain teratur, dan tidak ditemukan tanda-tanda fluktuasi abnormal. Hasil tes dinilai berada dalam fase normal.
Resonant Criticality: Tinggi. Anggota ini memiliki stabilitas yang sangat baik dengan risiko Overclocking yang minim.
Tidak ada riwayat Overclocking dalam catatan.
Tidak diperlukan sesi konseling psikologis saat ini.
Sungguh elegan! Lady Carlo... eh, maksudku, anggota ini selalu tampil elegan, sempurna—bahkan dalam tes ini... Elegan sekali!
Art's Return
Ini bukan sekadar kolase dari berbagai material yang berbeda, melainkan interpretasi dari inspirasi dan konsep ideal konstruktivisme. Sang kreator memulai kariernya dengan inovasi yang mencolok, tetapi tetap tidak dihargai. Namun, Carlotta melihat potensi dalam "permata tersembunyi" ini, menggambarkan karyanya sebagai "kesan akan sesuatu yang berbeda dengan sentuhan puisi yang menghantui."
Kini, seniman instalasi terkenal di Ragunna ini menciptakan karya luar biasa ini sebagai tanda terima kasih khusus untuk Carlotta, atas dukungan serta kepercayaannya yang tak tergoyahkan.
Executor's Case
Sebuah case elegan dengan ukiran permata yang rumit, sempurna untuk acara formal. Ada pepatah yang mengatakan bahwa tas seorang wanita adalah tempat rahasia disimpan—dan itu benar bagi Carlotta.
Botol parfum? Sebenarnya itu granat yang tersamar. Kacamata? Alat khusus yang menampilkan lokasi serta hasil pencarian secara real-time.
Di balik keindahannya, benda-benda ini adalah sekutu paling andal bagi Carlotta dalam setiap misinya.
Dalam keindahan, mereka menghiasi; dalam kematian, mereka menghancurkan—benar-benar mencerminkan pemiliknya.
Family's Creed
Sepasang sarung tangan hitam, dengan kilauan seperti malam, dihiasi permata yang memiliki nama yang sama dengan pemiliknya—Opal.
Di dalam keluarga, ada banyak aturan tak tertulis, hal-hal yang tidak perlu diucapkan secara langsung. Salah satu aturan tersebut adalah: mereka yang mengenakan sarung tangan hitam harus menyelesaikan "masalah" dengan diam-diam demi kepentingan keluarga.
Namun, ini bukan soal kompromi, melainkan pilihan Carlotta sendiri. Keluarga telah membawanya melihat dunia yang lebih luas, dan kini dia akan membawa mereka ke dunia yang lebih besar lagi—baik atas nama Montelli yang sejati maupun atas namanya sendiri.
Hujan mengguyur jendela, membawa aroma tajam minuman keras. Carlotta tidak menyukai bau itu, tetapi merasa tenang mengetahui hanya mereka yang digerakkan oleh hasrat terkuat yang akan keluar di cuaca seperti ini—dan orang-orang itu jarang bertindak sembarangan.
Di dalam ruangan, seorang wanita dengan pakaian lusuh namun terawat berusaha terlihat santai, tetapi matanya terus mengawasi setiap gerakan sang pelelang—seperti penjudi yang terdesak. Seorang pria flamboyan di aula utama berbicara dengan semangat, berusaha menarik perhatian, meskipun tanpa sengaja mencampuradukkan beberapa aliran seni yang berbeda. Sementara itu, di dekat jendela, seorang pemuda sekilas melirik Carlotta sebelum buru-buru berpaling.
Bagi Carlotta, ini adalah permainan, dan hasil akhirnya sudah ada dalam genggamannya.
Ini bukan lelang pertamanya. Di atas panggung dengan sorotan lampu lembut, karya-karya seni datang dan pergi. Para calon pembeli lebih tertarik membicarakan riwayat harga setiap karya daripada nilai artistiknya. Menciptakan seni mungkin pekerjaan yang mulia, tapi bisnis seni? Jauh dari itu. Setiap transaksi di sini adalah taruhan atas keuntungan di masa depan.
Meski begitu, Carlotta tetap mengangkat plakatnya untuk karya-karya yang kurang diminati pasar. Baginya, ini bagian dari strategi besar. Apakah itu hanya campuran bentuk tak berarti atau ekspresi seni sejati... Waktu yang akan menjelaskan. Dan ketika saatnya tiba, keuntungannya akan jauh melampaui harapan.
Pada awalnya, tindakannya disambut dengan skeptisisme. Tapi seiring waktu, keyakinan Carlotta mulai memengaruhi para penawar lain, membentuk pilihan mereka. Seakan-akan dia memiliki strategi yang didasarkan pada teori seni, kepekaan estetika, dan wawasan pasar yang unik. Namun, kali ini, ia akan melangkah lebih jauh—mencapai puncak yang lebih tinggi.
Dan momen itu pun tiba.
Di detik-detik terakhir penawaran, Carlotta dengan tenang mengangkat plakatnya, membuat semua orang terkejut. Melihat ini, pria flamboyan itu segera menaikkan tawaran.
Hitungan mundur dimulai. Penawaran. Hitungan mundur. Penawaran lagi... Lelang berlanjut, dengan angka yang terus naik semakin cepat. Wanita dengan pakaian lusuh membelalakkan mata, tak percaya dengan jumlah yang terus meningkat. Sementara si pemuda nyaris kehabisan napas, kepalanya bergerak cepat mengikuti hiruk-pikuk yang terjadi.
Tepat saat palu pelelang hendak diketukkan, Carlotta menoleh ke rivalnya dengan senyum masam.
"Tak kusangka ada orang lain yang benar-benar memahami nilai sejati dari lukisan ini. Kesediaanmu untuk mempertaruhkan jumlah sebesar itu... Maka, lukisan ini memang pantas menjadi milikmu."
Acara pun berakhir, tapi masih ada beberapa urusan yang harus diselesaikan Carlotta.
Dari kejauhan, dia memperhatikan pria itu pergi dengan lukisan yang telah ia menangkan. Kemudian, Carlotta menarik diri ke sudut ruangan yang lebih sepi. Tak lama kemudian, pemuda yang sempat bertukar pandang dengannya tadi mendekat.
"Aku menyebarkan kabar kalau Carlotta Montelli mengincar sebuah mahakarya. Sesuai perintahmu, Nona."
Carlotta tersenyum dan memberikan upahnya. Jika anak itu tetap berguna, mungkin ia akan memanfaatkan jasanya lagi di lain waktu untuk tugas-tugas kecil. Sementara itu, wanita yang masih berdiri tak jauh darinya akhirnya angkat bicara.
"Nona Carlotta, aku sangat berterima kasih atas semua yang telah kau lakukan untukku dan ayahku. Hanya saja... hanya saja..."
Wanita itu ragu, mencari kata yang tepat. Tapi Carlotta sudah lebih dulu menangkap maksudnya.
"Tidak, lukisan itu terjual dengan harga yang pantas. Aku memang menggunakan caraku sendiri, tapi karya ayahmu memang bernilai setinggi itu."
Semua orang mendapatkan apa yang mereka inginkan. Begitu pula dengan dirinya. Dengan pemikiran itu, Carlotta meninggalkan aula lelang, menghilang ke dalam kegelapan dan hujan malam.
Malam itu, hujan turun dengan tiba-tiba. Air membanjiri jalanan, membawa kesuraman yang semakin pekat menjelang tengah malam. Carlotta mendongak, menatap bayangan buram yang samar-samar terlihat di balik tirai hujan. Bukankah dia juga hanya bayangan lain di tengah badai? Ya, bayangan yang datang untuk merenggut nyawa demi menebus kesalahan masa lalu.
Hujan tak akan menghentikannya mencari orang yang ia tuju.
Klik... Klik... Klik.
Klik... Klik... Klik.
Suara langkah sepatu haknya mendekat. Sebuah pintu berderit terbuka, dan Carlotta melangkah masuk. Ia telah menempuh perjalanan melintasi Ragunna demi menemukan pria yang berdiri di hadapannya—seseorang yang hampir dilupakan oleh waktu. Dengan nada dingin, ia berbicara,
"Terus terang saja, aku datang atas nama Montelli untuk membacakan obituarimu."
"Aku tahu kau akan datang."
Rambut pria itu telah beruban, wajahnya tertoreh waktu dan penyesalan. Tatapannya kosong, suaranya tetap tenang.
"Montelli tidak pernah melupakan hutang darah. Cepat atau lambat, aku tahu kalian akan menemukanku."
Jendela di ruangan itu sedikit terbuka, angin malam berembus masuk membawa hawa dingin. Pria tua itu menggigil, tapi kelemahannya justru membuat Carlotta muak. Dia berbicara seakan dirinya tak pernah mengkhianati Montelli, seakan dia tak pernah menjilat Fisalia, atau merancang serangan ke markas besar Montelli yang merenggut begitu banyak nyawa—bahkan setelah keluarganya sepakat dengan perjanjian di West End.
Balasan Carlotta tajam.
"Kau tahu akibat dari perbuatanmu."
"Hah! Kalian Montelli memang tak pernah berubah. Sepuluh tahun sudah berlalu. Semuanya sudah selesai. Kalian sudah merebut kembali West End, sementara aku hidup seperti tikus, bersembunyi di lubang. Setiap kali hujan turun di malam hari, aku selalu ketakutan, berpikir bahwa seseorang sepertimu akan datang untuk menghabisiku."
Pria tua itu menghela napas, ekspresinya mengeras. Tangannya bergerak cepat ke arah senjata tersembunyi.
Carlotta tidak mengatakan apa-apa. Kristalnya langsung berubah menjadi pistol—ancaman diam yang mematikan.
Bagi Carlotta, ini bukan soal balas dendam. Ini tentang hutang yang belum terbayar dan kehormatan yang hilang. Siapa pun dari Montelli bisa mati, tapi selama masih ada satu Montelli yang berdiri, keluarga itu takkan runtuh. Rasa saling percaya yang mutlak di antara mereka memberikan ketenangan untuk mempertaruhkan nyawa demi keluarga. Jika satu jatuh, yang lain akan mengambil alih dan menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. Maka, meskipun sepuluh tahun telah berlalu, hutang ini tetap harus dibayar. Baru setelah itu semuanya bisa benar-benar berakhir.
Ini bukan soal uang. Bukan soal penutupan. Tapi soal kesetiaan dan pengabdian.
Bang!
Satu lagi "permata" pecah menjadi serpihan. Pria tua itu tersungkur ke lantai. Dengan napas tersengal, dia menatap Carlotta, berusaha tetap fokus, tapi tubuhnya sudah tak bisa bergerak.
"Uhuk... uhuk... Kau belum menang... permainan ini... tidak berakhir... dengan kematian..."
Ya. Ini permainan yang hanya berakhir ketika semuanya telah habis. Carlotta mengulang pikiran itu saat ia melangkah keluar. Angin malam menyentuh pipinya, membawa pergi kesunyian yang menggema di dalam ruangan.
Sebelum menutup pintu, secarik kertas jatuh perlahan di kaki pria itu.
"Hutang Lunas."
Dan di dalam, ada kematian. Sementara di luar, Ragunna akan selalu ada.
Malam itu, hujan terus mengalir di rambut Carlotta, menetes ke wajahnya. Ia terhuyung ke depan, merasa seperti tenggelam dalam gerimis halus yang menusuk tubuhnya.
Carlotta menyesali kebiasaannya yang tak pernah membawa payung. Ia ingin sekali berteduh, namun suara langkah yang mendekat memberitahunya bahwa tak ada waktu untuk beristirahat. Tak masalah. Carlotta menggigit sarung tangannya dan merobeknya. Ia harus terus menari dalam tarian mematikan ini—dengan nyawanya sebagai taruhannya.
Sebelumnya, di malam yang sama…
Ballroom paling mewah di City Hall menjadi tempat pertemuan bagi Order, Fisalia, dan Montelli—tiga kekuatan besar yang masing-masing membawa agenda sendiri. Carlotta tak terkecuali. Gaun dan sepatu hak yang ia kenakan telah dipilih dengan cermat, memberikan kebebasan gerak tanpa menarik perhatian. Malam ini, ia akan menyatu dengan keramaian dan menunggu di balik bayang-bayang.
Di lantai dansa, Carlotta menukar senyum sopan dengan perwakilan Fisalia.
"Malam ini kau terlihat begitu memikat, Miss Carlotta. Ada rencana setelah ini?"
"Tidak, hanya menikmati malam,"
jawab Carlotta,
jemarinya bertumpu ringan di pinggang wanita itu. Tangan lawannya pun merayap naik di sepanjang lengan Carlotta, sebelum akhirnya telapak tangan mereka bertemu dan tubuh mereka mulai bergerak selaras—rok mereka berputar layaknya kelopak bunga yang mekar di bawah lampu kristal.
"Ayolah, kau pasti tak datang hanya untuk menari. Klan Montelli pasti juga ada di sini, bukan?"
"Kau tahu betapa aku menikmati acara seperti ini. Dari cara kau mengawasi, sepertinya Fisalia punya taruhan besar dalam pertemuan ini."
Wanita itu mengubah ritme dansanya, genggamannya menguat saat ia mencoba mengambil alih kendali. Carlotta mengikuti tarikan itu, memutar tubuhnya dengan anggun sebelum kembali jatuh dalam pelukan lawannya.
"Order yang memegang kendali di kota ini. Kami, Fisalia, takkan membiarkan Montelli merusak keseimbangan yang ada. Visi kalian terlalu radikal."
"Kau menyebut kami radikal, sementara kalianlah yang haus akan kekuasaan. Kalian berusaha mengendalikan ombak, seolah arus bisa dihentikan begitu saja."
Gerakan mereka semakin intens, masing-masing berusaha merebut kendali dalam ritme yang semakin kacau. Ini bukan lagi sekadar dansa—ini adalah tarian penghindaran yang begitu halus, sebuah permainan antara sentuhan singkat dan perpisahan yang tiba-tiba, hingga akhirnya melodi mencapai puncaknya.
Wanita itu menarik diri, pandangannya menyapu ballroom, mencari sosok-sosok tersembunyi dari Montelli.
Namun, Carlotta menggenggam tangannya lebih erat, mengarahkan tubuhnya kembali ke dalam irama dansa mereka. Musik tetap mengikat mereka bersama. Wanita itu tak punya jalan keluar dan tak bisa membuat keributan. Yang bisa ia lakukan hanyalah menatap Carlotta dengan kebencian membara.
"Montelli punya telinga di mana-mana. Sejak awal, kau mengincar 'anak-anakku'. Aku harap kau siap menari... sampai maut memisahkan kita."
Dansa mereka kini memiliki arti baru.
Carlotta berhenti, berputar, menyerang—dan target-targetnya jatuh satu per satu...
Tangonya berubah menjadi waltz mematikan bersama para pengawal dan "anak-anak" wanita itu, membawa mereka hingga ke titik ini. Perjuangan mereka terus berlangsung di bawah hujan yang tak henti-hentinya mengguyur malam.
Dari luka Carlotta, racun meresap masuk, menyusuri nadinya seperti api yang menghanguskan kesadaran. Rasa logam mengalir di sudut bibirnya. Ia menyeringai, terkekeh pelan dengan getir.
Apakah ini juga nasib dari pasangan dansa terakhir wanita itu? Tak masalah. Cepat atau lambat, semua yang menari dengan kematian pada akhirnya akan jatuh dalam pelukannya.
Saat racun menggerogoti indranya, merampas kewarasannya, Carlotta membungkuk, lalu tersenyum. Dengan kilauan yang mampu mengubah malam menjadi siang, ia berpendar dalam cahaya terakhirnya.
Jika kematian sudah pasti… kenapa tidak menikmati tarian terbaik dalam hidupnya?
Malam itu, Carlotta tahu bahwa hujan turun. Ia tak dapat melihat butiran airnya, tapi bekas alirannya tampak jelas di kaca jendela.
Carlotta merapikan roknya dan menatap ke cermin. Lukanya telah sembuh dengan baik, bahkan bekasnya pun tak lagi terlihat. Racun itu juga telah sepenuhnya keluar dari tubuhnya. Namun, ia tak merasa ingin beristirahat. Diam terlalu lama membuatnya gelisah, seolah ada sesuatu yang perlahan lepas dari genggamannya.
Akhirnya, ia memutuskan untuk menemui Kakek—mencari pendapatnya tentang “masalah” yang baru-baru ini terjadi.
Ia menemukannya di koridor dekat ruang tamu. Kakek, seperti dirinya, memang sering terjaga hingga larut. Ia berdiri di sana, namun Carlotta tak dapat memastikan apakah ia sedang mengamati hujan di luar jendela, menikmati lukisan di dinding, atau...
“Kakek, apakah Anda sedang menunggu saya?”
“Tidak juga,”
jawabnya dengan tenang.
“Aku hanya sedang memikirkan saat pertama kali kau bergabung dengan keluarga ini.”
Jawaban itu membuat Carlotta tertegun.
Sejujurnya, ia tak menyukai dirinya yang dulu—naif, lemah, terbuang—jauh dari sosok seorang Montelli. Ada begitu banyak yang harus ia pelajari—tentang Ragunna, tentang Montelli, dan tentang bagaimana menyelesaikan masalah dengan cara yang elegan. Hampir tak ada yang mempercayainya, kecuali Kakek.
Saat itu, satu-satunya yang membuatnya bangga adalah Forte miliknya, yang ia gunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Seiring waktu, ia beradaptasi dengan Kode Montelli, menggunakan kemampuannya untuk menangani urusan-urusan keluarga yang lebih rumit.
Tapi, apakah ada yang keliru dalam proses itu?
Menurut Carlotta, posisinya saat ini di dalam keluarga adalah yang terbaik. Mereka telah menerimanya, mengakuinya, dan sekarang mereka membutuhkannya. Ia adalah cucu sejati dari Padrino, lebih pantas menyandang nama Montelli dibandingkan sebelumnya.
Jadi, mengapa Kakek mengungkit masa lalu?
“Masih ingat?”
suara Kakek kembali terdengar, lembut namun penuh makna.
“Saat kau memintaku menjadikanmu Executor, aku memberikanmu sarung tangan opal tepat di tempat ini.”
Ia menepuk bahu Carlotta dengan ringan.
"Aku tak pernah meragukan kemampuanmu, tapi… aku mulai bertanya-tanya, apakah ini benar-benar yang kau inginkan?"
Apa yang benar-benar ia inginkan… dan apa yang ia lakukan sekarang… Carlotta tak melihat perbedaan di antara keduanya.
Hidup terus berjalan, dan setiap orang membutuhkan sesuatu untuk dijadikan jangkar—keyakinan, prinsip, atau seseorang yang mereka cintai.
Bagi Carlotta, menjadi seorang Montelli adalah jangkarnya. Keluarga Montelli adalah segalanya baginya.
“Tidak,”
ujar Kakek pelan, seolah membaca isi pikirannya.
"Seorang Montelli sejati tidak hidup hanya untuk keluarga. Ia tidak ada hanya untuk mengikuti aturan, entah itu aturanku ataupun aturan keluarga."
"Ia harus merasakan cahaya di dalam dirinya,"
lanjutnya,
"karena aku percaya kau memiliki cahaya itu. Sebelum kau membatasi dirimu dengan definisi yang sempit."
Akhirnya, Kakek menolak permintaan Carlotta untuk tetap menjadi Executor. Sebagai gantinya, ia memintanya untuk menulis surat, merenungkan langkah selanjutnya.
Setelah hujan, Ragunna diselimuti kabut abu-abu tipis. Kota itu seperti binatang yang tengah tertidur, menanti Carnevale.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan Carlotta, Francesco Montelli telah membuat keputusan yang akan mengubah masa depan keluarga Montelli. Ia berencana menggunakan cara khusus untuk mengembalikan kekuatan keluarga.
Senja tiba, dan hujan akhirnya reda.
Cahaya lembut matahari yang hampir tenggelam membasuh Carlotta saat ia menyesap kopi di tepi dermaga. Ombak datang dan pergi, riak emasnya mencerminkan siklus tak berujung antara siang dan malam di Ragunna.
Tanpa tujuan tertentu, ia berjalan, berhenti di tempat-tempat yang menarik perhatiannya. Ini bukan kebiasaannya, tapi mungkin di masa depan, ia akan mulai melakukannya lebih sering—seperti kebiasaannya yang baru, mencari bagian dari dirinya yang benar-benar miliknya sendiri, terpisah dari Montelli.
Setelah merayakan Carnevale bersama tamu kehormatan, serta membongkar pengkhianatan Capollo dengan bantuannya, Carlotta akhirnya memahami apa yang dulu tidak sepenuhnya bisa diungkapkan oleh Kakek pada malam hujan itu.
Ia khawatir bahwa Carlotta akan melakukan sesuatu demi keluarga, meskipun bertentangan dengan prinsipnya sendiri. Kakek tak pernah mengarahkan jalannya berdasarkan masa lalunya sendiri. Ia hanya berharap agar Carlotta tidak terjebak dalam pola yang sudah ditentukan.
Tapi kenyataannya lebih rumit dari itu.
Keputusannya untuk tetap menjadi Executor memang dibuat demi kepentingan keluarga, tapi setiap langkah menuju keputusan itu adalah pilihan yang diambilnya dengan suka hati. Pada akhirnya, hanya itulah yang benar-benar penting. Ia tak pernah menjadi seseorang yang terikat oleh aturan. Tidak di masa lalu. Tidak sekarang. Dan tidak akan pernah.
Tentu saja, sebagai seorang Montelli, ia tak bisa hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia selalu tertarik pada hal-hal ekstrem, pada solusi yang berani, tanpa takut akan perubahan atau risiko. Namun saat tiba waktunya untuk bertindak, saat keputusan harus dibuat, ia mengendalikan dorongan itu.
Dengan cara tertentu, ini memang batasan yang datang dari identitasnya—sebuah tali pengikat yang ditempa oleh darah dan kewajiban. Namun, di saat yang sama, itu juga jangkar yang menahannya tetap teguh.
Ia adalah Carlotta Montelli. Ia akan selalu dibutuhkan. Ia akan disingkirkan lagi suatu saat nanti. Tapi meski ada batasan itu, ia memiliki kebebasan yang tak dimiliki banyak orang.
Sebuah hidup yang diabdikan untuk menciptakan mahakarya tunggal—Carlotta telah melihat banyak kehidupan seperti itu.
Namun, baginya, lembaran masa depan jauh lebih menggoda. Ia akan menenunnya sendiri, benang demi benang. Untuk menangkap esensi siapa dirinya, ia akan terus memotong, menyusun, dan melapisi... hingga akhirnya, ia dapat menyebutnya sebagai karya seni yang cukup kaya.
Tapi untuk saat ini, ia ingin membiarkan dirinya merasa bangga, meski hanya sedikit.
Carlotta belum siap memperlihatkan bagian dirinya yang hanya ada di ruang-ruang sunyi dalam pikirannya... Namun, mungkin Rover adalah pengecualian.
Ia masih lebih suka menyebutnya sebagai Cat’s Eye. Mereka pernah berjalan beriringan untuk sementara waktu, tetapi pada akhirnya, tak ada dari mereka yang bisa berhenti hanya demi satu sama lain. Dia pernah berkata terus terang bahwa dirinya terlalu “sempurna.” Jadi, untuk menepati janjinya untuk “tidak terlalu tertutup,” Carlotta akan menenun Cat’s Eye ke dalam kisahnya.
Ia merasa bahwa takdir belum selesai dengan mereka. Kapan, bagaimana, dan petualangan seperti apa yang menanti mereka di masa depan… ia hampir tak sabar untuk mengetahuinya.
Di kejauhan, sebuah Gondola membelah air yang tenang, meluncur kembali menuju dermaga. Suara panggilan antara mereka yang di atas perahu dan mereka yang di daratan menjadi gema terakhir dari hiruk-pikuk hari itu.
Setelah hujan, tak seorang pun tahu apa yang benar-benar terjadi dalam gelapnya malam.
Untuk saat ini, hanya cahaya senja yang menyentuh kulitnya, menandai akhir dari siklus hari ini. Ia menyesap kopi terakhirnya, berbalik, dan melangkah ke dalam bayangan yang perlahan merayap.
Dalam kesunyian dunia, ia akan menari dalam iramanya sendiri.