Galbrena

🔍 Informasi
Jenis Kelamin
Perempuan
Tempat Lahir
Rinascita
Afiliasi
The Black Shores
📋 Forte Examination Report
Resonance Power
Infernal Descent
Resonance Evaluation Report
[Special Containment Risk Assessment Record – X666]
"...Resonance Ability subjek menunjukkan kontaminasi sebelumnya oleh Dark Tide. frequency spectrum sangat terganggu dan tidak dapat dianalisis melalui Rabelle Method. Berdasarkan kesaksian subjek yang didukung sumber eksternal, ia diklasifikasikan sebagai Congenital Resonator."
"...terdeteksi Overlord-Class Tacet Discords dalam tubuh subjek. Pengujian akan dipindahkan ke Tethys System. Seluruh personel non-esensial wajib segera dievakuasi ke zona aman yang telah ditentukan!"
"...Sample database terhubung. Comparative analysis dimulai."
"...internal frequency subjek telah dikonfirmasi. Ditemukan kecocokan parsial dengan Tacet Discord yang dikenal: Chimera, Galbrena, Harpyia, Dullahan, Balor, dan Nameless Dreadshade. Korelasi lainnya masih menunggu verifikasi."
"Semua Tacet Discord yang teridentifikasi tidak menunjukkan perilaku agresif selama ditekan oleh frequency subjek sendiri. Behavioral stability terkonfirmasi bahkan dalam kondisi stres tinggi. Penilaian akhir: penahanan tidak disarankan. Rekomendasi: pemeriksaan rutin."
Penyebab Bangkitnya subjek tidak dapat dipastikan. innate flame-nya, yang pernah terkikis oleh Dark Tide, memang membusuk namun tak pernah benar-benar padam. Kemudian, ia menyatu dengan Tidespawn bernama Chimera, mengubah sifat apinya dan memberinya kemampuan untuk menyerap frekuensi lain.
Melalui proses ini, subjek secara aktif berburu Tacet Discord, menyerap dan mengubah frekuensi mereka menjadi kekuatannya sendiri. Saat ini, ia mampu menggunakan berbagai kemampuan Tacet Discord dalam pertempuran.
Bagi "demon" yang dilahap oleh apinya, hanya ada dua nasib: dimurnikan lalu diubah menjadi kekuatan dirinya, atau dihancurkan sepenuhnya.
"Sebuah museum berjalan dari Tacet Discord... Apakah kekuatan seperti ini benar-benar bisa dimiliki manusia? Lebih buruk lagi, kekuatan itu terus berevolusi."
"Tidak... itu sebuah kerajaan dalam dirinya. Aku melihatnya... sebuah imperium yang bangkit di dalam dirinya."
Overclock Diagnostic Report
Resonator Galbrena memiliki riwayat Overclocking yang terdokumentasi. Peringkat Maksimum Overclocking: Negligible/Dapat Diabaikan
Black Shores Bloom Bearer Research Report
Meskipun kekuatan yang ditunjukkan Ms. Galbrena setelah Overclocking begitu besar termasuk perubahan mencolok pada penampilan dan fisiologinya, kami tetap mengklasifikasikan peringkat Maksimum Overclocking-nya secara historis sebagai dapat diabaikan.
Asessment ini harus dipahami dalam konteksnya: Resonance Ability-nya pernah terkorrupsi oleh Dark Tide, meninggalkannya hampir benar-benar kosong. Bagi seorang Resonator yang begitu terkuras, mampu mencapai Overclocking sama sekali, berpindah dari defisit ke surplus, dari ketiadaan ke kehadiran, adalah sebuah keajaiban.
Secara tradisional, Overclocking didefinisikan sebagai kondisi yang menghabiskan jiwa dan raga, menandakan dominasi kecenderungan destruktif atas regeneratif dalam diri Resonator. Namun kasus Galbrena memaksa kami untuk meninjau ulang definisi tersebut. Dalam dirinya, Overclocking tidak muncul sebagai kemunduran, melainkan tanda kelahiran kembali. Hal ini mengindikasikan bahwa fenomena ini mungkin erat kaitannya dengan kemauan sang Resonator dan jika dibimbing dengan tepat, Overclocking berpotensi menghasilkan dampak konstruktif, berubah menjadi kekuatan yang suatu hari bisa dipahami dan dikendalikan secara sadar oleh para Resonator.
Catatan Penting: Seluruh personel penelitian dilarang keras mencoba dengan metode apa pun untuk mereplikasi metode Overclocking Ms. Galbrena. Setiap pelanggaran, begitu terdeteksi, akan langsung dikenai tindakan penahanan.
📦 Cherished Items
Portable Frequency Cassette Recorder - Prototype

Sebuah pemutar kaset tua yang ditemukan Galbrena di Lahai-Roi. Seiring kemajuan teknologi, model ini sudah lama tidak diproduksi lagi. Meski usang, alat ini masih mempertahankan fungsi utamanya: merekam "frequency essence" sang pemilik. Bagi Galbrena, kaset ini adalah senjata melawan korupsi dari Tacet Discord dalam dirinya sekaligus pelipur langka di tengah hening panjang antar perburuan.
Ia telah menggunakannya untuk merekam banyak lagu kesukaannya. Jika kamu ingin mengenalnya lewat cara ini, ia dengan senang hati akan berbagi "lagu-lagunya" denganmu.
"Sweet Dreams"

Kerajinan tangan yang dibuat oleh Galbrena, dianyam dari bulu-bulunya sendiri dipadukan dengan bahan sederhana yang dipilih dengan hati-hati. Setiap elemennya menyimpan harapan kecil yang sunyi.
Bagi Galbrena, tidur malam yang damai adalah kemewahan yang jarang datang. Ia kerap terganggu oleh Tacet Discord dalam dirinya dan terpaksa bertarung melawan mereka berulang kali, bahkan dalam mimpi di dalam mimpi. Suatu waktu, ia mencoba mencari jalan untuk bebas, berharap benda buatannya ini bisa menjaga saat-saat istirahatnya yang singkat... Tapi hasilnya selalu mengecewakan.
Namun semuanya berubah ketika ia mulai memberikannya pada anak-anak. Kerajinan itu pun memperlihatkan kekuatan sejatinya: dalam mimpi mereka, setiap kali "Mimpi Buruk/Nightmare" datang, seorang wanita berkostum putih akan muncul mengusir para monster, membimbing anak-anak keluar dari kegelapan, dan berjaga hingga fajar menyingsing.
Chimera menjelaskan pada Galbrena bahwa bulu-bulu itu membawa frekuensinya, cukup kuat untuk mengusir "Nightmare Tacet Discords". Tapi terhadap makhluk-makhluk yang sudah bersarang dalam dirinya, benda itu tak berdaya.
Pemikiran itu membawa kesedihan yang samar... namun juga sedikit lega. Setidaknya, ia tidak ditakdirkan hanya untuk membawa rasa takut.
"The First Blood Pact"

Peluru "pertama" yang terkondensasi dari darah Galbrena sendiri. Hadiahnya untukmu.
Saat menjelajah Lawless Zone di New Federation, Galbrena bertemu dengan sebuah perkumpulan rahasia dan mempelajari teknik kejam yang dikenal sebagai Blood Pact. Para praktisinya adalah buronan tanpa jalan pulang, atau mereka sepertinya yang sudah lama terikat oleh kegelapan. Masing-masing memilih Jalan Sang Hunter karena alasan tersendiri, hanya untuk melepaskan satu serangan mematikan di saat paling tak terduga. Galbrena menguasai seni ini dengan cepat. Hasilnya pun melampaui kebanyakan darahnya yang telah lama terbakar seperti api. Ia bahkan terasa lahir untuk berjalan di jalan ini.
Setiap hunter yang mengucap Sumpah Darah membawa peluru semacam ini, dikenal sebagai "First Blood Pact". Ada pepatah tua di antara mereka: "Peluru ini membawa namamu." Tanda tekad untuk mengejar mangsa hingga akhir, tak peduli apa taruhannya. Namun di Lawless Zone, tempat sekutu bisa berubah jadi musuh dalam sekejap, ikatan kepercayaan yang tulus menjadi sangat berharga. Dari sanalah lahir Rite of Covenant. Meski Galbrena sendiri tak pernah melakukannya, ia masih mengingat bobot dan maknanya.
Ketika seorang hunter memberikan First Blood Pact-nya kepada orang lain, ia mengukir nama sang penerima di atasnya. Kontrak paling sederhana, namun paling kuat dan kuno: untuk menjadi peluru nya (Rover). Takkan mengkhianati. Takkan lari. Sampai darah habis mengalir dan api padam menjadi abu.
📜 Story
Day of a Hunter
"Iblis telah jatuh. Anak-anak boleh bernyanyi lagi."
Si Discord Slayer melipat sayapnya yang masih menyala dan turun dari langit ke tengah kerumunan yang menantinya. Panas yang masih mengepul dari pistol di pinggangnya membuktikan bahwa perburuannya baru saja berakhir.
Tacet Discords—makhluk supernatural yang lahir dari chaotic remnant dan energi manusia—adalah wujud kebencian dan kehancuran di dunia ini. Meski ilmu pengetahuan telah lama mengklasifikasinya, di banyak tempat mereka tetap disebut iblis atau arwah penuntut dendam, dengan nama-nama yang berasal dari legenda tua dan cerita hantu. Dan di seluruh dunia, ada mereka yang memburu makhluk-makhluk itu. Untuk hadiah, untuk penelitian, atau sekadar menguji kekuatan diri. Mereka yang menghadapi musuh mengerikan ini dengan rasa hormat sekaligus pemberontakan menyandang gelar yang diturunkan dari generasi ke generasi—Discord Slayer.
Kebanyakan Discord Slayer membuktikan hasil buruan mereka dengan mengekstraksi frekuensi echo lewat Terminal, atau membawa pulang Tacet Core-nya. Tapi dia tidak. Ia selalu kembali dengan tangan kosong, hanya menyampaikan kata-kata bahwa tugasnya selesai. Dengan tenang, ia akan menceritakan kelemahan tiap monster dan cara terbaik untuk membunuhnya. Tapi kata-kata saja tak pernah cukup untuk dipercaya. Maka ia mengangkat tangan kanannya, berbisik pada sebuah nama… Shrieking Legion, Tacet Discord yang ia sembunyikan dalam diri, muncul. Kerumunan tak punya pilihan selain percaya. Ketakutan menebal di udara. Keheningan jatuh seperti bilah pedang.
Ia mendengar mereka berbisik, keraguan mereka, kecurigaan mereka. Ia merasakan permusuhan itu, tapi tak pernah sekali pun mencoba menjelaskan. Ada yang berbisik bahwa ia adalah hasil eksperimen hybrid manusia–TD, diciptakan hanya untuk membunuh. Ada pula yang yakin ia terbentuk dari frekuensi TD yang terdistorsi—makhluk yang lahir dari dosa. Yang lain lebih yakin ia telah membuat perjanjian dengan iblis dan menukar emosinya. Ia selalu mengangguk setuju pada dugaan itu. Baginya, itu tameng yang nyaman, alasan untuk membungkam pertanyaan yang tak ingin dijawab.
Kebanyakan ia hanya berpaling dari semua tatapan itu. Tapi kadang, ia membiarkan dirinya sedikit bersantai. Ia mengabaikan pandangan waspada, duduk di bar terbuka, memesan beberapa gelas milkshake es krim blueberry dengan tenang. Hanya para pemburu yang pernah bertempur bersamanya yang tahu kebenarannya. Di balik topeng dingin dan jauhnya, berkobar nafsu yang dahsyat terhadap perburuan. Dan saat menghadapi mangsanya, ia tak kenal ampun.
Shrieking Legion adalah Tacet Discord tipe binatang dari hutan. Lahir dari rasa iri, ia meniru suara manusia untuk menarik anak-anak mendekat, lalu mencuri suara mereka. Ia telah memperingatkan timnya agar tak menyerangnya di wilayahnya sendiri. Tapi penampilannya yang muda tak membuatnya dipercaya. Mereka mengabaikannya dan jatuh ke dalam perangkap. Dinding-dinding lembah memantulkan jeritan monster itu menjadi badai suara yang hampir menghancurkan seluruh tim. Tapi ia tak ragu. Dengan tekad dingin, ia merobek gendang telinganya sendiri, darah mengalir di belakangnya saat ia menerjang maju. Seketika itu juga, api meledak di sekelilingnya. Ia menempelkan pistol ke dada monster itu dan menarik pelatuknya. Dalam sunyi yang berasap, ia hanya meninggalkan vonis:
"Penebusanmu dimulai sekarang."
Kerumunan menyaksikan penghakiman atas monster itu. Dengan tangan kanannya, ia mencengkeram leher sang iblis, lalu api ular melingkupi sepenuhnya. Legion melepaskan raungan terakhir yang terdistorsi sebelum runtuh menjadi serpihan esensi—diserap olehnya sebagai bayaran yang sah. Tubuhnya sendiri, yang penuh darah dan luka bakar, mulai meregenerasi dengan kecepatan yamg menakutkan. Sejenak, sulit dibedakan... siapa sebenarnya iblis yang sesungguhnya.
Tapi satu kebenaran tak terbantahkan. Ia bisa saja kabur sendiri. Tapi ia memilih tinggal. Dan karena itu, mereka semua selamat.
Ia mengusap abu dari pundaknya, lalu seolah dari udara kosong, menciptakan segenggam es lilin, menawarkannya pada para korban yang masih gemetar dengan senyum santai.
"Mau satu?"
Baginya, perburuan mematikan ini hanyalah tugas biasa di hari yang biasa saja.
Saat manisnya es krim meredakan api yang masih menyala di dadanya, ia membentangkan sayapnya dan lenyap ke langit.
Tak seorang pun tahu dari mana ia datang, atau ke mana tujuannya. Anak-anak memanggilnya "Ice Cream Demon" setelah melihatnya melahap tiga cangkir es beku raksasa. Yang lebih tahu melihat api kelam yang melekat padanya dan langsung teringat pada Flame Demon dari legenda. Tapi jika seseorang berani mengumpulkan bulu-bulunya yang berguguran, mereka akan menemukan hal lain. Bulu-bulu tajam yang bahkan bisa membelah Tacet Discord menjadi dua itu ternyata menyimpan kelembutan aneh... dan getir yang telah usang dimakan waktu. Mungkin memang wajar. Kebebasan dan semangat liar seperti itu hanya bisa lahir dari rasa terasing.
Ia jarang berbicara tentang masa lalunya. Saat didesak, jawabannya singkat, menghindar.
Untuk mengenal kisahnya, seseorang harus mundur jauh, sangat jauh ke masa lalu. Saat rambutnya masih berkilau keemasan pucat dan matanya masih menyala terang benderang. Saat dunia belum pernah menyebutnya… "Galbrena."
Of a Childhood Long Gone
Orang-orang selalu mengatakan Angel lahir "dalam dekapan cahaya dan api." Ia datang ke dunia saat fajar keemasan, diselimuti nyala bercahaya terang.
Resonance Ability orang tuanya biasa saja. Di Ragunna, kelahirannya mungkin akan dipandang sebagai sebuah mukjizat. Tapi di Septimont, ketuhanan tak pernah berarti apa-apa. Di sini, hanya kekuatan yang dihormati.
Bagi seorang anak, memiliki Resonance Ability kuat sejak dini bukanlah anugerah yang selalu menyenangkan. Ia membawa risiko kehilangan kendali kapan saja. Sejak kecil, Angel memegang teguh ajaran orang tuanya, mengatur emosinya dengan hati-hati agar apinya tak pernah melukai orang lain. Di usia yang seharusnya penuh tawa, ia justru terpisah dari anak-anak lain—pendiam, menjaga jarak, dingin. Ada yang menyebutnya sombong. Yang penakut menghindar, sementara yang berani sengaja memancing, ingin menguji diri melawan teman seusia yang begitu berbeda. Mungkin mereka tak bermaksud jahat. Tapi bagi mereka, sifatnya, bakatnya, jati dirinya... terlalu berbeda.
Orang tua Angel adalah para pengungsi dari Ragunna, yang menempuh jauh sebelum akhirnya menetap di Septimont. Ayahnya maju ke medan saat monster menyerang. Ibunya, meski punya sedikit, tetap memberi makan pada mereka yang lebih tak punya. Di masa ketika prasangka masih menghantui hubungan kedua kota, tindakan-tindakan kebaikan itu membawa mereka tempat di hati warga.
Ibunya membesarkannya sesuai Codex: bersikap baik, penuh belas kasih, toleran, dan mudah memaafkan. Angel menyerap semua ajaran itu dalam-dalam. Tapi di Septimont, kebaikan tak pernah menjamin rasa hormat. Terbentuk oleh dua budaya yang berbeda, Angel membentuk keyakinannya sendiri: Perlakukan orang lain dengan niat baik. Jangan pernah memulai pertarungan. Tapi jika seseorang memukulmu, balaslah dengan lebih keras.
Untungnya, memar adalah hal biasa di kalangan anak-anak Septimont. Tetap saja, Angel berusaha tidak membuat masalah bagi orang tuanya. Seiring waktu, ia mulai menikmati kesendiriannya. Ia menemukan tempat perlindungan di sebuah bengkel besi milik teman ayahnya, Paman Filo. Jarang ada anak-anak yang datang ke sana, tapi sesuatu dalam dirinya tertarik secara naluriah pada api yang menyala, percikan yang beterbangan, dan dentingan jelas antara palu dan besi. Di sanalah ia bertemu seorang gadis berambut merah. Dengan sikap blak-blakan dan langsung, gadis itu punya banyak teman. Ia memberi Angel tawa yang telah lama hilang dari masa kecilnya. Mereka duduk di dekat perapian, bercakap-cakap hingga larut malam tentang masalah dan impian mereka. Gadis itu, Augusta, paling peduli pada cerita di balik setiap senjata, sementara Angel terpesona oleh ritual misterius "pengerasan"—quenching.
Suatu hari, Paman Filo berkata:
"Bahkan bilah terbaik pun hanyalah logam mentah, jika tak direndam dan ditempa."
Banyak hal yang membingungkan Angel, seperti mengapa angin di Septimont selalu membawa aroma karat. Ia mengira itu hanya napas dari perapian dan alat tiup. Baru kemudian, saat ia tumbuh dewasa, ia tahu apa sebenarnya yang dibawa angin itu. Angin itu datang dari Plateaus: dari ujung tombak yang jatuh, pedang yang patah, dan... darah segar para pejuang yang tumpah.
Enam belas tahun lalu, High Tide melanda Plateaus. Di Fabianum, perburuan menjadi tak berkesudahan. Angel menyaksikan orang tuanya pulang dalam kelelahan, melihat yang lain kembali berlumuran darah dan terluka, mendengar ulang-ulang kata "kekuatan." Saat itulah sebuah sumpah tumbuh di hatinya.
Sejak hari itu, ia berlatih tanpa kenal lelah. Ia mencari orang dewasa untuk pelajaran bertarung, mengikuti para ranger untuk belajar berburu, dan melakukan duel dengan siapa pun yang mau. Seperti binatang haus di tepi sumur, ia menyerap ilmu dari setiap sumber. Semua demi satu tujuan: Proving Grounds bagi Para Pemula. Sang pemenang akan menerima pelatihan Gladiator elit, dan bersamanya, jalan lebih cepat menuju menjadi pemburu sejati.
Usaha membuahkan hasil. Di arena, Angel menerjang puluhan pesaing hingga akhirnya berhadapan dengan kontestan unggulan: Arkyria, yang terkenal pernah menghadang makhluk-makhluk Dark Tide sendirian. Tekad Arkyria, yang ditempa dalam ujian hidup-mati, memaksa Angel mundur berulang kali. Ia tak boleh membiarkan kesempatan ini lepas... Maka, untuk pertama kalinya, ia melepaskan Resonance ability-nya.
Cahaya meledak dari tubuh Angel seperti api. Menyala, tapi tak membakar. Mempesona, tapi tak menyilaukan. Dalam sekejap, arus pertarungan berbalik. Kemenangan menjadi miliknya. Ia maju untuk memeriksa lawannya yang terjatuh, hanya untuk mendengar kata-kata pahit:
"Mengapa kamu? Mengapa kamu yang diberi kekuatan seperti itu?"
Pertanyaan yang telah dibawanya sejak kecil: Mengapa aku?
Ada orang lain yang bekerja lebih keras, yang lebih berbakat. Mengapa mereka tak menerima anugerah ini?
Jika mereka punya kekuatan yang sama, apakah mereka bisa terhindar dari rasa sakit?
Jika ia bisa menguasai kekuatan ini, bisakah ia menolong mereka? Bagaimana jika...
Pikirannya terputus oleh raungan Griffrex di langit. Mereka terbang menuju Plateaus—tempat semua perburuan dimulai.
Ya. Setidaknya, ia telah membuktikan bahwa ia bisa mengendalikan kekuatannya. Segera, ia juga akan menunggangi Griffrex ke medan perang, menghancurkan Tidespawn jahat untuk melindungi lebih banyak orang. Itu sumpahnya. Perburuannya akan segera dimulai.
Semuanya seharusnya berjalan begitu. Dan semuanya memang berjalan begitu. Namun takdir, entah karena putaran kata yang kejam atau tipu daya yang telah lama direncanakan, akhirnya menunjukkan wajahnya: Apa yang diberi, akan diambil. Apa yang baik, diajarkan untuk berbuat jahat. Apa yang tak kenal takut, dihancurkan—hingga berlutut dan tak pernah bangkit lagi.
Tapi Angel tak pernah menginjak Kuil Tetragon. Ia tak pernah ingin memahami takdir. Ia tak butuh. Ia hanya tahu satu hal: jika seseorang memukulnya, ia akan membalas lebih keras. Entah itu manusia, dewa, atau... sang takdir sendiri.
Angel's Ashes
Ia tak akan pernah lupa saat pertama kali ia "melahap" seorang Tacet Discord. Penolakan yang mengguncang tubuhnya, rasa sakit yang membakar dari dalam, seolah jiwanya sendiri akan hancur menjadi abu. Tapi yang lebih tak tertahankan daripada rasa sakit itu adalah kelemahan yang terbongkar.
Ia tahu apa yang memberinya kesempatan kedua dalam hidup, dan ia ingat sumpah yang pernah diucapkannya. Namun saat berdiri di hadapan "banyak wujud sejati kejahatan", ia akhirnya menyadari betapa tak berdayanya dirinya.
Maka ia menyerahkan frekuensinya, membuat perjanjian dengan iblis yang tinggal dalam dirinya. Hari itu, ia melangkah ke jalan tanpa jalan pulang.
Tapi bagi dirinya, inilah "perburuan" yang memang selalu ditakdirkan untuk dimulai: upacara berburu yang tak pernah ia hadiri, Nyala Suci yang seharusnya dinyalakan Sang Perawan... kini dinyalakan oleh api neraka "Galbrena."
Dan begitulah, gadis yang membawa api mengembara antara peradaban dan alam liar, mendengarkan bisikan dan menyaring legenda. Ia menjelajahi reruntuhan sunyi yang dipenuhi mayat dan tulang-belulang, hanya untuk memburu monster yang lahir dari emosi manusia.
Suatu kali, ia bertarung di tebing curam lalu jatuh bersama musuhnya ke jurang—padahal ia belum belajar terbang.
Lain waktu, ia bertarung di dasar danau gelap, demi musuh yang takut air—meski ia sendiri nyaris tak bisa berenang.
Ia telah membunuh ratusan monster, dan nyaris dibunuh ratusan lainnya.
Chimera pernah yakin bahwa mereka yang diberi kehidupan kedua akan berpegang teguh padanya, melakukan apa pun untuk bertahan, hingga tekad mereka patah di bawah beban dan akhirnya terperangkap dalam jeratnya. Tak pernah terbayangkan oleh Chimera bahwa ia akan dikalahkan oleh hasrat berdarah yang justru ingin diciptakannya. Berulang kali, gadis itu menantang musuh jauh lebih kuat darinya, mempertaruhkan nyawanya setiap kali, hingga akhirnya ia menjadi penjara hidup dari daging dan darah yang mengikatnya.
Kehidupan kedua ini datang dengan harga. Menjalani hidup dengan pengecut akan membuatnya sia-sia. Ia tak hanya bertarung untuk menundukkan iblis dalam dirinya. Ia bertarung untuk merebut lebih banyak kekuatan dari tangan sang takdir sendiri.
Namun kata-kata Chimera bukan tanpa kebenaran: kebaikan tanpa kekuatan adalah tragedi paling kejam. Untuk menyelamatkan, seseorang juga harus belajar melukai.
Ia teringat ucapan ibunya:
"Jika akar sebuah pohon tak bisa menembus ke neraka, maka dahannya tak akan pernah mencapai surga."
Tapi ia tak pernah merindukan surga. Jika neraka menantinya, maka ia akan turun lebih dalam, menyeret para iblis bersamanya, memaksa mereka berlutut di depan api neraka, atau mengirim mereka ke kehancuran abadi… meskipun api itu juga akan melahap dirinya.
Namun kadang, ia bertanya-tanya—apakah ia sudah menjadi iblis yang orang-orang bisikkan itu? Apakah tubuhnya saat ini... masih bisa disebut "manusia"? Bisakah ia benar-benar menggunakan kegelapan untuk kebaikan, tanpa ikut dilahap olehnya?
Sebab meski ia tetap memberi kebaikan dengan tulus… ia telah melakukan hal-hal yang hanya dilakukan oleh iblis.
Pada suatu hari, ia pergi ke sebuah kota terpencil di selatan untuk memburu Nameless Dreadshade. Dikatakan bahwa pengaruhnya membuat warga kota gila, terobsesi dengan teknik "Frequency Exchange". Mereka membantai travelers untuk memanen frekuensi demi keabadian. Saat Dreadshade tewas, semua instrumen pecah, dan para "abadi" itu layu perlahan, menjerit dalam kegilaan hingga napas terakhir. Tetap tak menyesal. Tetap berencana. Tetap memikirkan cara mengorbankan orang lain demi kelangsungan hidup mereka...
Saat itulah ia sadar: bukan Dreadshade yang telah merusak mereka. Keinginan mereka sendiri yang rusak telah memanggil makhluk itu muncul. Maka dengan satu ledakan besar, ia mengubah kota neraka hidup itu menjadi abu, membersihkan kejahatan dari akarnya.
Perburuan itu mengajarkannya dua kebenaran: iblis di dunia ini bukan hanya Tacet Discord, dan setiap iblis lahir dari hati manusia.
Mungkin kenyataan bahwa ia masih mengajukan banyak pertanyaan ini berarti ia masih manusia. Atau mungkin, dunia telah memberi jawabannya sejak lama.
Ia telah melihat manusia saling mengoyak demi keuntungan terkecil, dan yang lain rela mati demi sepercik harapan. Ia telah melihat kota hancur karena keserakahan, dan bunga putih mekar di tengah lumpur dan reruntuhan. Sifat manusia adalah paradoks yang rapuh dan memesona. Kebaikan dan kekejaman. Rendah dan agung. Selalu terjalin. Dunia tak pernah hitam-putih semata. Dan di dalam abu-abu tanpa ujung itulah ia merasa paling nyaman.
Discord Slayer muda itu kini akrab dengan cara dunia memperlakukannya, dan tempatnya yang mengambang di antara dua alam. Di mana dulu sayap apinya membuatnya lecet dan berdarah, kini ia belajar terbang dengan anggun.
Di siang hari, ia mengitari wilayah perbatasan seperti elang yang mencari mangsa, mengawasi dunia dalam diam. Di malam hari, ia beristirahat sendiri di cabang-cabang gundul, menjaga bintang-bintang kuno, sebagaimana bintang-bintang itu juga menjaganya.
Ia masih ingat sumpahnya. Dulu, ia takut pada bayangan dan kekuatan yang ada di dalamnya. Kemudian, ia belajar mengendalikan rasa takut itu. Dan kini, ia memilih untuk menjadi rasa takut itu sendiri. Sebuah wujud yang begitu menakutkan... hingga bahkan para iblis pun gemetar di hadapannya.
Skies Within
Matahari terbenam. Pasir. Asap. Medan perburuan ini tak lebih kejam dari yang pernah ia hadapi sebelumnya.
Gadis masa lalu telah lama berubah menjadi seorang wanita yang tubuhnya dipenuhi bekas luka. Dari balik pakaian compang-campingnya, memancar niat membunuh yang begitu tajam hingga Tacet Discord pun secara naluriah kabur saat mendekat.
Namun bahkan dirinya pun tampak kecil di hadapan sosok The iron bulk of Dullahan, sang ksatria tanpa kepala yang menghancurkan segalanya. Kedatangannya tak berbunyi. Baja bertabrakan. Dalam sekejap, Galbrena mengerti mengapa ia gagal merasakannya. Frekuensinya begitu dominan, sangat kuat hingga Dark Tide sekalipun menolak menyentuhnya. Ia telah lama melepaskan Chimera, membiarkannya bebas menikmati pertumpahan darah... Tapi meski buas, itu hanya cukup untuk memperlambat kuda perang sang ksatria.
Lari? Pikiran itu muncul berkali-kali. Tapi hanya beberapa ratus meter di belakangnya, seorang ibu dan anak sedang melarikan diri demi nyawa mereka. Setiap detik ia bertahan adalah waktu tambahan bagi kelangsungan hidup mereka. Mereka akan membawa peringatan itu lebih jauh, ke suku di kejauhan, mungkin memanggil bala bantuan untuk menghentikan kemajuan Dullahan sebelum mencapai gates of civilization. Karena alasan itulah, pilihannya jelas. Ini bukan soal kemenangan. Ini soal tetap berdiri—tanpa peduli harga yang harus dibayar.
Ia tak takut mati, tapi ia menolak tumbang di sini. Sayap tajam Harpyia sudah hancur. Kini, satu-satunya senjata yang tersisa adalah api neraka "Galbrena" yang mulai padam. Di medan tandus ini, tak ada lagi kebencian yang bisa menyalakan apinya.
"...Kau selalu tahu cara membuat api itu tetap menyala." Suara kekanak-kanakan bergema di benaknya.
"Jika Galbrena lahir untuk memakan kebencian… maka bencilah dirimu sendiri. Benci kelemahanmu. Benci ketidakberdayaanmu. Benci keraguanmu… Jika bara Iblis Api tak cukup, bakarlah dirimu sendiri. Jika Sang Pengawas bilang armor Dullahan tak bisa dihancurkan, percayalah pada 'mata' milikmu sendiri."
Ia tak tahu siapa pemilik suara itu. Tapi kata-katanya terdengar benar, mendorongnya untuk mempercayai instingnya—seperti yang selalu ia lakukan.
Kebencian dan api membara di ujung jarinya. Samar, tapi cukup tajam untuk menyobek lukanya dan membakar darah serta tubuhnya.
Pedang besar Dullahan menghantam sekali lagi. Tapi kali ini, ia tak menghadapinya langsung. Ia menerjang masuk ke dalam rongga tempat kepala seharusnya berada, melemparkan dirinya ke dalam zirah kosong itu. Api menyengatnya sepenuhnya. Tapi seperti yang diduganya, inilah titik lemahnya: apinya dari dalam jauh lebih lemah dibanding miliknya. Dua api bertabrakan, menggelegar di dalam balutan baja. Tubuh raksasa itu bergetar… Hingga akhirnya, sunyi datang.
Saat ia membuka mata lagi, ia berada dalam pelukan ibu dan anak itu.
Hidup? Galbrena bersyukur. Ia menyulutkan api di ujung jarinya sekali lagi, siap membakar diri—lega karena trik yang sama masih bisa digunakan. Mereka buru-buru menghentikannya, mengingatkan bahwa ksatria tanpa kepala itu sudah lenyap. Beberapa waktu kemudian, ia mendengar bahwa saat bala bantuan tiba, yang mereka lihat hanyalah fajar keemasan yang menyala di cakrawala. Dan Galbrena, tergeletak sendirian di atas pasir.
Baru ketika orang-orang menunjukkan, ia menyadari tubuhnya telah berubah. Dalam bentrokan api murni di dalam diri, ia sebenarnya telah menang. Frekuensi Dullahan telah menyatu dengan darah dan tulangnya. Kekuatan regeneratif sang ksatria abadi telah menyembuhkan tubuhnya yang hampir hancur, bahkan menghapus bekas luka tertua sekalipun. Iblis Api Abadi, yang dulu hanya nama, kini hidup dalam wujud nyata. Tapi Galbrena tak merasakan hangat dalam kehidupan barunya. Yang ia tahu hanyalah, trik itu bisa digunakan lagi dan lagi—tanpa akhir.
Pakaian yang sudah compang-camping kini hangus habis. Beberapa orang mencoba mengumpulkan bulu-bulu putih yang tersebar di tanah, berharap bisa membuatkan pakaian baru darinya. Tapi ia hanya menyentuh bulu hitam di bahunya dan berkata,
"Ini saja cukup."
Mungkin Dullahan juga takut pada fajar yang menyala itu. Siapa yang menciptakannya, ia tidak tahu. Fenomena alam belaka? Dan bulu-bulu putih itu? Tertinggal oleh burung yang lewat. Tak ada hubungannya dengannya. Lagipula, warna hitam jauh lebih cocok untuknya.
Tak lama setelah ia kembali berjalan, Chimera bergumam.
"Suara apa tadi yang kudengar?"
"Itu,"
jawabnya,
"adalah iblis tertua dan terkuat dalam dirimu."
"Lebih tua dari kamu?"
"Tentu saja. Dia telah menjadi bagian dari daging dan jiwamu sejak awal. Kalau bukan karena dia, aku sudah lama melahapmu. Dialah yang membantumu mengalahkan 'Galbrena'."
"Aku tak ingat pernah menyerap Tacet Discord seperti itu."
"Bukan Tacet Discord… Kau sungguh tak tahu namanya?"
"Tidak."
"...Kebersitanku tak pernah habis heran. Bagaimana kau bisa bertahan selama ini?"
"Cukup. Katakan saja."
"...Angel. Namanya… Angel."
A Return Long Awaited
Dulu, ia pernah mengarahkan pistol pada dirinya sendiri. Tapi inilah bukan mimpinya.
Ia telah membunuh ratusan Tidespawn di kegelapan tanpa batas. Akhirnya, habis tenaga dan terhuyung, ia roboh di atas air hitam yang tak bergerak. Sekali lagi, ia terjebak dalam jaring yang ditenun oleh takdir.
"Tidak… Aku tak boleh tumbang di sini. Masih terlalu banyak yang belum selesai. Aku telah berjanji kepada Rover… Aku tak boleh jatuh di sini."
Saat matanya kembali terbuka, Fabianum terbentang di depannya. Rival-rivalnya, teman-temannya, keluarganya… semuanya tersenyum hangat saat berjalan mendekat.
Tapi apakah ini ilusi lain yang diciptakan Threnodian? Apakah Leviathan mengira ia takut pada kebahagiaan? Atau lebih tepatnya, pada kebahagiaan yang tak layak ia rasakan? Bagaimana mungkin seseorang yang memegang kekuatan gelap seperti ini bisa dilihat, diterima, dan dicintai?
Dulu, mungkin ia akan bergulat dengan pertanyaan itu. Kini, ia tak butuh jawaban lagi. Ia hanya perlu mengingat tujuannya. Ia bangkit, menyalakan apinya, mengisi laras, dan mengarahkan pistol pada "sahabat lama" di hadapannya.
"Hahaha! Gadis kecil, sepertinya kau sudah menjelma jadi sesuatu yang tajam sekali."
Jika ini mimpi, tawa Paman Filo terdengar terlalu nyata. Tapi saat melihat tanda-tanda Dark Tide's corruption pada mereka, akhirnya ia mengerti: mereka yang dulu memberikan seluruh frekuensinya padanya—mereka yang seharusnya telah menjadi saudara bagi Leviathan—masih menolak pelukannya. Selama puluhan tahun, mereka menolak "karunia" yang ditawarkan. Dan karena itulah, Leviathan membuang mereka ke kedalaman paling gelap dari Dark Tide, menghukum mereka dengan siksaan tanpa akhir.
Ia terdiam. Sepanjang perjalanannya, ia sempat goyah. Ia ragu. Mungkin, jika dulu ia lebih keras, lebih cepat menguasai kekuatan ini… mungkin ia bisa kembali lebih awal. Mungkin bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa. Mungkin...
"Pemburu, kau sudah melakukan cukup."
"Hiduplah dengan bangga, kepala tegak. Bebas dan tak terbelenggu. Itu selalu harapan kami."
"Kau akan selamanya menjadi kebanggaan kami."
Mereka semua menjawab dengan senyum yang bersinar. Dan ibunya mengucapkan pertanyaan yang telah lama ia simpan dalam diam—yang tak pernah berani ia ajukan, atau tak pernah diberi kesempatan untuk dilontarkan.
"Tapi anakku, kau tahu ini bukan rumah."
"Perjalananmu harus berlanjut. Ada yang masih menunggumu."
"Ingat saat kita bertarung dulu? Beri rasa itu pada Leviathan! Lakukan demi kami semua! Balaskan kami dengan sukacita!"
"Selamat jalan, Angel. Kali ini… mungkin benar-benar selamanya."
"Jangan lupa, kami akan selalu bersamamu."
Di ujung, ayahnya membuat pose konyol, mengangkat kedua tangan dalam bentuk "V" kemenangan yang kaku dan berlebihan.
"Orang tua bodoh..."
hatinya tertawa pahit. Tapi ia tahu arti dari gerakan itu. Tak perlu pelukan. Tak perlu menoleh. Itu adalah penghiburan sekaligus perpisahan.
Bentuk mereka kabur, berubah jadi titik-titik cahaya yang menunjuk pada arah yang samar... Itulah alasan mereka datang. Mereka tak punya kekuatan lagi untuk diberikan, tapi sekali lagi, mereka menyelamatkannya.
Betapa lucunya tipuan Leviathan. Ia ingin menyeretnya ke dalam kegelapan abadi Dark Tide, namun justru membantunya menyelesaikan perpisahan yang selama ini tak pernah ia dapatkan.
Fabianum memudar di matanya, hancur dan lenyap. Tapi ia bukan lagi gadis kecil itu. Masa lalunya indah, tapi ia tak akan tenggelam di dalamnya. Hatinya lembut, tapi ia akan menajamkan dirinya sendiri lebih dari sebelumnya.
Dan begitu, tanpa ragu, ia berbalik dan berjalan masuk ke dalam kegelapan tanpa batas.
Sekali lagi, Chimera berdiri di hadapannya.
Ia tak pernah mengira Tacet Discord liar ini bisa memahami kemanusiaan, apalagi menjadi teman. Ia hanya berharap, setelah jalannya jelas, ia tak akan diganggunya lagi. Dan untuk itu, hanya ada satu solusi: ia harus menjinakkannya.
Ia bersiap bertarung. Tapi kali ini, Chimera tak menyerang. Ia hanya memandanginya dalam diam saat ia mendekat, terbakar sunyi dalam apinya—api Angel. Api miliknya.
Akhirnya, begitu banyak pertanyaan menemukan jawabannya.
"Tak kuat menghadapi api kecil begini?"
"Lelucon payah! Usahakan jangan mati di sini. Bukan di sini akhir dari perburuan kita."
"Kita pernah selamat dari yang lebih buruk, bukan?"
Tak ada iblis yang tak bisa diburu. Threnodian hanyalah yang terkuat di antara mereka. Lagipula, ia tak sendirian dalam pertempuran ini.
Chimera tak berkata apa-apa lagi, lalu mundur selangkah. Di belakangnya, ribuan Tacet Discord yang pernah ia telan memperlihatkan wujud mereka. Dulu ia menghabisi mereka, berulang kali dalam mimpi tanpa akhir, merebut paksa kekuatan mereka. Tapi kini…
Ia berjalan melewati mereka tanpa rasa takut. Jalan berapi terbentang di kakinya. Di kanan-kiri, makhluk-makhluk yang dulu menabur ketakutan ke jiwa-jiwa tak terhitung kini tunduk hormat, seolah mengiringi sang penguasa menuju medan perang. Apakah mereka tunduk pada iblis yang lebih besar dari diri mereka? Atau pada sesuatu yang lain—sesuatu yang bahkan para iblis pun takuti?
Tak penting lagi. Kekuatannya telah jauh melampaui mereka. Ia tak butuh pengakuan. Hanya ketaatan. Dan ia akan menggunakan kekuatan terkutuk ini untuk memburu dosa-dosa yang lebih besar—seperti yang pernah ia ikrarkan di masa kecil, sebuah sumpah yang tak pernah patah hingga ajal menjemput. Untuk dirinya. Untuk mereka yang tak bisa kembali. Agar tragedi Fabianum… dan penderitaannya sendiri tak pernah terulang.
Perburuannya tak akan pernah berakhir.
Last updated